Persoalan Pemeliharaan Mesin Mengemuka Usai Sriwijaya Air Jatuh

Persoalan pemeliharaan mesin pesawat mengemuka menyusul jatuhnya Sriwijaya Air Boeing 737-500 dengan nomor penerbangan SJ182 tujuan Jakarta-Pontianak.

Siswanto | BBC
Senin, 11 Januari 2021 | 11:49 WIB
Persoalan Pemeliharaan Mesin Mengemuka Usai Sriwijaya Air Jatuh
Prajurit TNI AL menurunkan bagian mesin turbin pesawat Sriwijaya Air SJ182 rute Jakarta-Pontianak dari KRI Cucut (886) di Dermaga JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (10/1/2021). [ ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak]

SuaraJawaTengah.id - Persoalan pemeliharaan mesin pesawat mengemuka menyusul jatuhnya Sriwijaya Air Boeing 737-500 dengan nomor penerbangan SJ182 tujuan Jakarta-Pontianak.

Seorang pengamat penerbangan menyebut, maskapai tersebut dipertanyakan kemampuannya dalam melakukan perawatan pesawat setelah terbelit utang kepada Garuda Maintenance Facility pada 2019 lalu.

Di sisi lain, beberapa ahli mengatakan, pesawat yang tak terbang selama berbulan-bulan karena pandemi virus corona berpotensi mengalami korosi mesin.

Pihak Sriwijaya mengklaim tidak ada perbedaan dalam perawatan pesawat sebelum dan selama pandemi.

Baca Juga:Baru 40 Sampel DNA Keluarga Korban Tragedi Air SJ182 Diterima RS Polri

Sementara itu, lokasi kotak hitam atau black box pesawat sudah diketahui dan diharapkan bisa diangkat pagi ini untuk diidentifikasi.

Pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, mengatakan ada tiga faktor penyebab sebuah pesawat mengalami kecelakaan fatal yakni performa kru, cuaca, dan teknis.

Dalam kasus jatuhnya Sriwijaya Air Boeing 737-500 dengan nomor penerbangan SJ182 di Perairan Kepulauan Seribu, ia berkata ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi.

Sehingga publik sebaiknya menunggu hasil penyelidikan dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

Kendati demikian, ia berharap KNKT ikut menelisik persoalan pemeliharaan pesawat yang membelit Sriwijaya Air. Pasalnya maskapai tersebut disebut memiliki utang hingga Rp800 miliar kepada Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia.

Baca Juga:RS Polri Terima 16 Kantong Mayat dan 3 Kantong Properti Sriwijaya SJ182

GMF merupakan perusahaan penyedia layanan perawatan pesawat yang merupakan anak usaha Garuda Indonesia.

Karena sudah tak dilayani GMF, armada milik Sriwijaya dirawat oleh para teknisi sendiri dengan ketersediaan suku cadang mesin yang terbatas. Akibat keterbatasan itu, kondisi perusahaan berada di level Hazard Identification and Risk Assessment (HIRA) 4A.

"Jadi ini sudah jadi pertanyaan, apakah mereka cukup dana untuk melakukan maintenance? Apakah maintenance sejak lepas dari kerja sama itu masih oke atau tidak. Itu yang nanti akan dilihat oleh KNKT," ujar Gerry Soejatman kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (10/01).

"Sebab ini sudah pasti sudah jadi salah satu concern dari kejadian ini," sambung Gerry.

Sepanjang pengamatannya, selama pandemi pesawat milik Sriwijaya Air yang terparkir "tidak sedikit, tapi tidak mayoritas".

Pesawat SJ182 pun, katanya, sudah mulai terbang lagi pada Oktober 2019 sejak terakhir kali mengangkasa pada Maret tahun lalu.

'Korosi mesin jika pesawat tak dipakai lebih dari tujuh hari'

Pengamat penerbangan, Ruth Hana Simatupang, mengatakan kondisi pandemi menyebabkan banyak maskapai memarkir pesawatnya.

Kondisi itu terjadi hampir di seluruh dunia.

Persoalan yang timbul karena terlalu lama memarkir pesawat yakni terjadinya korosi mesin.

"Dalam waktu 2-3 hari tidak dipakai saja kemungkinan terjadi korosi ada," imbuh Ruth Hana kepada BBC News Indonesia.

Karena itu, pabrikan pesawat biasanya mengirimkan red notice kepada maskapai untuk melakukan perawatan ekstra terutama bagian mesin.

"Tentunya mesin, karena ini yang mendorong pesawat. Jadi memang itu utama, tentu dengan bagian-bagian yang terhubung dengan langsung dengan mesin, terutama radar."

Pemeliharaan pada bagian-bagian inti pesawat itu harus dilakukan setiap hari dan pihak teknisi, menurutnya, seharusnya sudah mengetahui hal tersebut.

"Saya enggak tahu apakah prosedur itu dilaksanakan atau tidak. Tapi standar operasionalnya harus dilakukan setiap hari."

"Walaupun pandemi, namanya teknisi akan tahu jadwal mana pesawat yang harus dirawat, entah diganti, menambahkan, atau ada perubahan dari pabrikan, itu sudah harus tahu."

Kementerian Perhubungan sebagai regulator dan pengawas, kata Ruth, tak boleh lengah mengawasi.

Akan tetapi, menurut Ruth, jika merujuk pada pesawat SJ182 semestinya tidak ada persoalan korosi mesin. Sebab berdasarkan catatannya, pesawat tersebut sudah beberapa kali terbang meski tak menutup kemungkinan terjadi kerusakan.

'Tes terbang tanpa penumpang'

Gerry Soejatman juga menambahkan, untuk menjaga performa pesawat yang lama tak dipakai pihak teknisi sebaiknya melakukan "tes terbang tanpa penumpang" sebelum akan digunakan secara komersial.

"Ada testrun untuk mesin, jadi terbang tanpa penumpang, baru cek, oke bisa diterbangkan."

Dalam kasus SJ182, jika pesawat itu diizinkan terbang maka seharusnya sudah lolos inspeksi atau pemeriksaan dari Kementerian Perhubungan.

"Musim Natal dan Tahun Baru biasanya Kemenhub melakukan inspeksi lebih banyak dan pesawat ini dipakai saat musim itu, jadi harusnya pesawat tersebut kena inspeksi dan lolos."

"Makanya kita harus lihat temuan KNKT sebenarnya ada yang luput dari pantauan Kemenhub atau ada masalah lain."

Sebelumnya Federation Aviation Administration (FAA) telah mewanti-wanti kepada seluruh maskapai akan rawan mati mesin di udara.

Mengutip Reuters, peringatan itu disampaikan FAA pada Juli 2020 lalu terhadap 2.000 pesawat Boeing 737 New Generation dan Classic yang diparkir.

Peringatan itu ditujukan untuk pesawat yang tidak dioperasionalkan selama tujuh hari berturut-turut atau lebih. Di mana mesin pesawat berpotensi mengalami korosi pada bagian air valve check,

'Perawatan pesawat sebelum dan selama pandemi tidak ada perbedaan'

Pesawat Sriwijaya Air SK182 rute Jakarta-Pontianak yang hilang kontak di wilayah Kepulauan Seribu sudah berusia 26 tahun.

Penerbangan perdana pesawat klasik Boeing 737-500 itu dilakukan pada Mei 1994.

Dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 155 Tahun 2016 Tentang Batasan Usia Pesawat Udara, Pasal 3 menyebutkan pesawat terbang kategori transportasi untuk angkutan udara penumpang yang didaftarkan dan dioperasional untuk pertama kali di wilayah Republik Indonesia, paling tinggi berusia 15 tahun.

Namun aturan itu dicabut Menteri Budi Karya lewat Peraturan Menteri Perhubungan No.27 Tahun 2020.

Maka, batasan usia pada pesawat terbang tidak berlaku lagi.

Dirut Sriwijaya Air, Jefferson Irwin Jauwena, mengklaim pesawat dalam kondisi baik.

"Kalau kondisi pesawat dalam keadaan sehat, sebelumnya pulang pergi ke Pontianak dan harusnya tidak ada masalah. Semuanya lancar," kata Jefferson di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Sabtu.

Ia mengatakan keterlambatan keberangkatan yang dialami Sriwijaya Air SJ182 selama 30 menit bukan karena kendala mesin.

"Delay (penundaan berangkat) akibat hujan deras," kata Jefferson.

Juru bicara Sriwijaya Air, Theodora Erika juga menyebut tidak ada perbedaan perawatan pesawat sebelum dan selama pandemi.

Seperti apa penyelidikan KNKT?

Juru bicara Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Indriantono, mengatakan pihaknya sedang mengumpulkan informasi mengenai pemeliharaan pesawat SJ182 untuk dicocokkan dengan Flight Data Recorder (FDR) dan Voice Data Recorder (VDR).

Untuk itu, KNKT akan memeriksa sejumlah pihak dalam waktu dekat mulai dari teknisi hingga pilot yang sebelumnya menerbangkan pesawat SJ182.

"Kita ingin melihat apakah ada pergantian spareparts, kalau ada spareparts yang mana. Kemudian apakah ada keluhan dari pilot yang sebelumnya? Dari situ kita cocokkan dengan FDR, benar apa enggak yang menandakan ada kerusakan, pergantian spareparts?" tutur Indriantono kepada BBC News Indonesia.

Jika FDR dan VDR sudah ditemukan, maka KNKT diberi 30 hari untuk membuat laporan pendahuluan mengenai kronologi dan temuan kecelakaan.

Laporan pendahuluan itu, katanya, akan dibuka kepada publik.

Hingga Minggu sore, lokasi black box pesawat sudah diketahui. Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Bagus Puruhito, menambahkan pihaknya "meyakini itu black box. karena pancaran sinyal emergensi hanya dari dua alat tersebut."

Menurutnya, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menurunkan tiga alat pencarian portable pinger finder dan alat-alat itu sudah berada di KRI Rigel.

Black box adalah istilah terhadap dua peranti pada dua pesawat, FDR (Flight Data Recorder) atau perekam data penerbangan dan CVR (Cockpit Voice Recorder) atau perekam percakapan pilot.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini