Terkait hal itu, Pandu memberikan dua catatan. Pertama, membandingkan perbedaan sel dendritik pada terapi kanker dengan vaksin dendritik. Bahwa untuk terapi kanker sel dendritik tidak ditambahkan apa-apa, hanya diisolasi dari darah pasien untuk kemudian disuntikkan kembali kepada pasien tersebut.
"Sementara, pada vaksin, sel dendritik ditambahkan antigen virus," ujarnya.
Kedua, bahwa sel dendritik perlu pelayanan medis khusus karena membutuhkan peralatan canggih, ruang steril, dan inkubator CO2, dan adanya potensi resiko.
Dengan demikian, sangat besar risiko, antara lain sterilitas, pirogen (ikutnya mikroba yang menyebabkan infeksi), dan tidak terstandar potensi vaksin karena pembuatan individual.
Baca Juga:Pembuatan Vaksin Nusantara Besutan Terawan Hanya Butuh Waktu Seminggu
"Jadi, sebenarnya sel deindritik untuk terapi bersifat individual, dikembangkan untuk terapi kanker. Sehingga tidak layak untuk vaksinasi massal," tegas Pandu.
Oleh karena itu, Pandu Riono meminta Menteri Kesehatan, Budi Sadikin untuk menghentikan vaksin nusantara demi kepentingan kesehatan masyarakat Indonesia.
"Itu kan menggunakan anggaran pemerintah (Kemenkes) atas kuasa pak Terawan sewaktu menjabat Menkes," tegasnya.
IDI Meradang
Ketua Satuan Tugas COVID-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Zubairi Djoerban meragukan klaim Vaksin Nusantara bisa membentuk kekebalan tubuh atau antibodi seumur hidup terhadap virus Covid-19.
Baca Juga:BPOM Belum Keluarkan Izin Uji Coba Fase 2 Vaksin Nusantara Terawan
Zubairi menyebut klaim efikasi vaksin harus dibuktikan dengan uji klinis, sementara Vaksin Nusantara gagasan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu baru melewati fase uji klinis tahap pertama.