Dari Mata Air Terpencil, Festival Lima Gunung 2021 Dibuka

Festival lima gunung tetap dijalankan meski kondisi saat ini masih pandemi Covid-19

Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 22 Mei 2021 | 10:00 WIB
Dari Mata Air Terpencil, Festival Lima Gunung 2021 Dibuka
Ritual pembukaan Festival Lima Gunung di mata air Telompak, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang. (suara.com/Angga Haksoro Ardhi).

SuaraJawaTengah.id - Komunitas Lima Gunung membuka rangkaian festival tahun 2021 dengan menggelar ritual dan pementasan sederhana di mata air Telompak, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.   

Mata air Telompak dipilih sebagai tempat pembukaan Festival Lima Gunung ke-20 karena berada di lokasi yang terpencil di lereng Gunung Merbabu. Dusun Gejayan berjarak sekitar 25 kilometer dari pusat Kabupaten Magelang.

Salah seorang tokoh Festival Lima Gunung, Riyadi mengatakan festival tetap dijalankan meski kondisi saat ini masih pandemi.

“Ini (Festival Lima Gunung) sudah menjadi bagian dari kebutuhan kami. Jadi ini tidak bisa dilepaskan. Netepi wajib (menjalankan yang wajib). Seadanya tidak apa-apa,” kata Riyadi kepada wartawan, Jumat (21/5/2021).

Baca Juga:Penutupan Tempat Wisata di Magelang

Tema Festival Lima Gunung tahun 2021 adalah “Hari Peradaban Desa”. Melalui festival, para seniman tradisi dari Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh mengingatkan, bahwa peradaban manusia di mulai dari desa.

Semua nilai-nilai luhur manusia berasal dari tradisi dan kebudayaan desa. “Awal kehidupan manusia yang ada di desa-desa. Awalnya dari desa. Lumbung pangan, wayang kulit, gamelan, itu kan dari desa.”

Sebagai pengingat bahwa desa sebagai akar peradaban manusia, para seniman memilih ornamen cakra sebagai penghias lokasi pembukaan Festival Lima Gunung.

Cakra melambangkan roda kehidupan manusia. Filosofi perjalanan manusia yang berputar: kadang di atas dan kadang di bawah.   

“Manusia punya keinginan atau tergoda kehidupan modern yang mewah seperti di kota besar. Tapi akhirnya akan kembali dan merindukan desanya sendiri,” kata Riyadi.

Baca Juga:Kritik Sekolah Online, Ini Potret Anak-anak Belajar di Tepi Sungai Progo

Bahan ornamen simbol cakra juga dipilih dari janur pohon aren dan bukan janur kelapa. Warga kampung meyakini akar pohon aren berfungsi sebagai tandon tempat menahan air tanah.

“Masyarakat lokal yakin jika ada pohon aren itu termasuk sekitarnya ada sumber mata air. Itu juga mengingatkan bahwa hidup kita sendiri tidak lepas dari air.”

Riyadi mengaku komunitas belum menentukan jadwal pasti pelaksanaan rangkaian Festival Lima Gunung tahun ini. Jadwal festival sengaja dirahasiakan untuk menghindari kerumunan.

Poster kegiatan termasuk lokasi acara biasanya diunggah satu jam sebelum pelaksanaan acara. “Artinya agar tidak terjadi kerumunan. Tapi karena ini sudah bagian tradisi bagi temen-temen Lima Gunung, jadi ya harus dilaksanakan,” kata Riyadi.

Pembukaan Festival Lima Gunung di Dusun Gejayan hanya dihadiri oleh para tokoh seniman komunitas Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.

Ritual pembukaan festival diawali dengan membasuh muka para tokoh komunitas menggunakan air dari sumber Telompak. Mata air Telompak berasal dari rembesan air yang keluar melalui celah-celah batu yang dinaungi rumpun bambu dan pohon-pohon besar.  

Mata air Telompak menjadi salah satu sumber air bersih warga Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis. Setiap tanggal 5 Syawal digelar ritual Sungkem Telompak sebagai wujud syukur warga atas tersedianya air untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak