SuaraJawaTengah.id - Kamis, 17 September 1998, menjadi hari bahagia bagi Tulus (58), Warga Desa Ciberung, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini.
Pasalnya ia dianugerahi anak kedua bernama Sapto Yogo Purnomo yang meraih perunggu pada pesta olahraga dunia Paralimpiade Tokyo 2020, Jumat (27/8/2021) lalu.
Yoga, sapaan akrabnya memang tidak diunggulkan dalam pertandingan ini. Bapaknya juga tidak menyangka bahwa, penampilan perdananya di pentas olahraga dunia bagi atlet difabel ini bisa membawa pulang medali perunggu dari cabang sprinter nomor 100 meter T37 Putra
Tulus memang, tak begitu dekat dengan anak-anaknya. Karena sejak puluhan tahun lalu, ia merantau ke Jakarta untuk mencari nafkah. Bahkan sebelum Yoga lahir, ia sudah bekerja di luar kota.
Baca Juga:5 Hits Bola: Lewat Jersey Baru, Persib Coba Hidupkan Nilai Bhineka Tunggal Ika
Meski begitu, ia tak pernah lupa untuk selalu mendoakan anaknya meraih yang terbaik dalam tiap pertandingan.
Tulus sendiri tak pernah menyangka anaknya akan melangkah sejauh ini menjadi atlet profesional. Pasalnya sejak kecil ia memiliki kelainan pada tangan kirinya yang diderita sejak lahir.
"Jadi dahulu setelah lahir, anak saya sempat demam tinggi, terus sakit-sakitan. Sudah sering saya bawa ke dokter, tapi ternyata tidak bisa mengobati. Setelah dari demam malah tangan kirinya tidak bisa berfungsi dengan baik. Tidak bisa mengepal," katanya saat mengenang massa kecil Yoga di kediamannya, Desa Ciberung, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Selasa (31/8/2021).
Seiring berjalannya waktu, saat masuk ke jenjang pendidikan, Tulus menyekolahkan anaknya ke Sekolah Dasar Negeri di desanya. Ia memilih memasukkan anaknya ke sekolah biasa karena memang secara penampilan fisik Yoga terlihat normal.
"SD nya itu di sini saja dekat sekolah, terus SMP nya di Cikawung sana, lalu lanjut pendidikan di SMK Muhammadiyah Ajibarang. Nah bakat olahraganya terlihat waktu awal masuk SMK oleh gurunya," jelasnya.
Baca Juga:Jalani TC, Timnas Putri Indonesia Fokus Pulihkan Kondisi Fisik
Yoga hanya mengenyam pendidikan di SMK Muhammadiyah Ajibarang setahun saja. Karena setelah itu dia langsung ditarik ke Solo untuk mengikuti pemusatan latihan bagi atlet difabel sekaligus menyelesaikan pendidikan di sana.
"Sejak di Solo ia mulai ikut pertandingan baik antar sekolah hingga PON. Nah dari situ dia sering menang hingga akhirnya menjadi atlet yang mewakili Indonesia dari tingkat Asia Tenggara hingga Asia," terangnya.
Sejak kecil Tulus mengenal anaknya sebagai pribadi yang bandel. Namun Tulus memaklumi, karena bandelnya, seperti kebanyakan anak kecil pada umumnya.
"Dahulu waktu kecil memang bandel, seperti misal minta apa-apa harus dituruti, kalau ga dia bakal jengkel keluar dari rumah. Tapi ya sebenarnya dia pintar di sekolahan. Karena ya itu terbukti, SD dan SMP nya di sekolah favorit," ungkapnya.
Semasa kecil Yoga sebenarnya seperti anak pada umumnya. Menyukai olahraga sepakbola. Namun menurut guru olahraganya, saat berlari Yoga memiliki kelebihan dibandingkan teman-temannya.
"Saya tidak menyangka malah bisa membawa harum Indonesia di tingkat Internasional. Padahal ini penampilan pertama di Paralimpiade. Tapi saya kemarin tidak nonton langsung. Saya lihat tayangan ulangnya di Youtube. Yang nobar kakaknya di Jakarta sana. Saya sangat bangga dan bersyukur," lanjutnya.
Begitu selesai pertandingan, Tulus langsung mengirimkan ucapan selamat melalui aplikasi WhatsApp. Ia juga meminta agar anaknya tetap bisa fokus karena masih ada satu pertandingan lagi yang harus dijalani.
"Selamat ya nak, semoga kedepannya lebih baik lagi," tulis Tulus kepada anaknya yang baru akan kembali ke tanah air tanggal 5 September esok.
Sepulangnya dari Tokyo, pertandingan PON yang berlangsung di Papua pada bulan Oktober sudah menanti. Oleh sebabnya kemungkinan ia langsung persiapan dan tidak sempat pulang ke Banyumas.
Yoga merupakan salah satu atlet para atletik berprestasi di Indonesia. Dia pernah menyumbangkan medali emas untuk Indonesia pada ajang World Para Atletik di China pada 2018. Lalu, dua emas juga dipersembahkan saat tampil di ajang Asian Para Games 2018 yang berlangsung di Indonesia.
Sebelum itu, Yoga pernah merebut dua medali emas dan satu perak di ajang ASEAN Para Games Malaysia 2017. Kemudian di tahun yang sama, dia menyabet dua medali perak di ajang Asian Youth Para Games 2018 Dubai.
"Tapi meski sudah berprestasi sebenarnya dia tidak ingin terlalu diekspos. Pernah suatu ketika Yoga di undang acara televisi tapi dia tidak mau. Malah menyuruh saya yang berangkat. Ya jelas saya tidak mau, tutur kata saya tidak teratur soalnya," katanya.
Terakhir kali pulang ke kediamannya, setelah lebaran Iduladha lalu. Itupun hanya sehari saja. Kepulangannya tersebut untuk meminta doa restu kepada orangtua sebelum menjalani persiapan menghadapi Paralimpiade.
"Terakhir kali pulang kemarin setelah lebaran besar. Tapi cuma sehari saja karena memang jadwalnya padat. Pulang terus minta doa restu akan berangkat pertandingan di Tokyo ke saya dan ibunya sudah setahun ini sedang sakit di rumah," tuturnya.
Perjuangan Yoga juga tidak terlepas dari peran pelatih yang menemukan bakat anak didiknya saat mengenyam pendidikan di SMK Muhammadiyah Ajibarang. Adalah Winda Prasepty.
Menurutnya, banyak kenangan yang sempat terjadi dengan Yoga. Dirinya yang mengajar di sebuah club atletik yang bernama Flash Atletic Club pertama kali bertemu dengan Yoga pada tahun 2014. Saat itu dirinya melihat sosok Yoga, meski difabel, ia memiliki postur yang atletis hingga memiliki kemampuan olahraga terutama dalam bidang lompat tinggi yang lebih tinggi dibandingkan siswa lainnya.
"Waktu itu siswa lainnya lompat hanya 130 cm, tapi dia bisa lompat lebih dari 140 cm. Kemudian saya tanya, dia suka olahraga atau tidak, dia bilang suka dan saya minta dia ikut saya, saya latih untuk nanti kejuaran di Bandung," terangnya saat dihubungi.
Perjuangan paling berat dialami Winda saat membujuk orang tuanya, agar Sapto bisa menjalani TC di Solo. Ia memahami betul selama ini orang tua Yoga tidak pernah jauh dari anaknya, terutama ibunya.
"Saya sering kali meyakinkan ke orang tuanya. Saya bilang di sana (Solo) sudah diurusi dengan baik, makanannya juga enak-enak," katanya.
Meski sekarang ini Yoga sudah tidak lagi menjadi muridnya, dan sudah menjadi atlet nasional. Winda mengaku masih berkomunikasi dengannya, sekadar memberikan semangat serta memantau kondisinya.
"Saya, bangga banget, kita pernah mengusahan dia sampai ke sana. Kemarin dia WA saya, dia bilang dia sudah sampai Tokyo. Saya juga ucapkan selamat," jelasnya.
Walaupun sudah berprestasi, Winda berpesan kepada Yoga agar tetap berusaha menjadi atlet yang hebat. Ia juga meminta Yoga selalu mengikuti petunjuk yang diarahkan oleh para pelatihnya.
"Buat Sapto, salatnya jangan ditinggal, tetap berbakti kepada orang tua. Prestasi melangit tetapi hati tetap membumi," tandasnya.
Kontributor : Anang Firmansyah