Padahal, kapal nelayan lokal tidak ada yang sampai lebih dari 300 GT. GT sebesar itu hanya dimiliki oleh asing dengan peralatan canggihnya.
Adanya penyamaan tarif 10% untuk kapal 60 hingga 1000 GT, jelas sangat tidak adil. Mengingat, semakin tinggi GT, tarif yang dikenakan juga harusnya lebih tinggi.
"Kami hawatir, hadirnya PP ini justru akan melegalkan keberadaan nelayan asing di Indonesia. Sementara kami sebagai nelayan lokal, justru tidak mendapatkan ruang," ungkapnya.
Harga Pokok Ikan (HPI) dalam keputusan tersebut juga sangat mengancam kesejahteraan nelayan. HPI pun bakal melejit naik hingga 100%, dalam poin pasal 2 sistem pra produksi.
Baca Juga:Warga di Abdya Bubarkan Petugas Vaksinasi Covid-19, Ini Penyebabnya
Sementara, sistem pasca produksi dinilai bakal lebih mencekik nelayan kecil. Di mana kapal 2 GT disamakan PHP-nya dengan kapal 60 GT.
"Parahnya lagi, HPI itu tidak sesuai dengan HPI di pasaran ikan. Sementara HPI yang ditentukan pemerintah itu lebih berat. Kalau sebelumnya misalnya HPI itu Rp 6.000, terjadi kenaikan 100%, yaitu Rp 12.000," katanya.
Perwakilan Nelayan Porsein, Fauzan Nur Rokhim mengungkapkan, beban nelayan bertambah berat dengan adanya pendapatan asli daerah (PAD) tahun 2021 pada sektor perikanan yang mencapai Rp 11 miliar. Yang tadinya hanya Rp 6,5 miliar di tahun 2020.
"Nelayan dibebani retribusi di tempat pelelangan ikan (TPI) Juwana ini Rp 11 miliar kepada nelayan," jelasnya.
Melambungnya harga perbekalan saat berlayar juga menambah kegalauan nelayan.
Baca Juga:Perahu Pompong Nelayan Ditabrak Kapal Kargo, Dua Kakak Beradik Hilang
"Belum lagi tingginya harga perbekalan. Bagaimana nelayan bisa hidup jika dibebani seperti ini. Kena pajak, kena pungutan, kena retribusi, harga pangan naik, mati kita," bebernya.