Menjaga Gunung Slamet dengan Kearifan Lokal, Pernah Meletus Pada 1700-an

Gunung Slamet mempunyai sejarah panjang, pernah meletus di tahun 1700an

Budi Arista Romadhoni
Selasa, 23 November 2021 | 11:06 WIB
Menjaga Gunung Slamet dengan Kearifan Lokal, Pernah Meletus Pada 1700-an
Gerbang Pendakian Gunung Slamet. (Suara.com/Lilis Varwati)

SuaraJawaTengah.id - Gunung Slamet cukup dikenal di Jawa Tengah. Bahkan Gunung tersebut juga menjadi favorit oleh para pendaki. 

Jalur Bambangan merupakan salah satu jalur pendakian utama Gunung Slamet bagi para pendaki karena merupakan jalur terdekat untuk sampai ke puncak gunung dibandingkan dengan jalur yang lainnya. Pendakian melalui jalur Bambangan ini mencapai waktu kurang lebih 7-8 jam hingga sampai ke puncak.

Menyadur dari Solopos.com, jalur ini terletak di Dusun Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Jawa tengah (Jateng). Dusun yang terletak di lereng Gunung Slamet ini dihuni oleh masyarakat yang masih memegang teguh tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun.

Berdasarkan dari sebuah karya ilmiah bertajuk Mitos di Gunung Slamet di Dusun Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karang Reja, Kabupaten Purbalingga dari situs eprints.uny.ac.id, Senin (22/11/2021), tradisi yang dilakukan masyarakat Dusun Bambangan yang dikenal dengan sebutan upacara ruwat bumi ini dilakukan setiap memasuki bulan Sura.

Baca Juga:Wisata Guci Tegal Kaki Gunung Slamet, Sumber Pemandian Air Panas

Upacara ini digelar untuk menghormati dan menghibur Sang Bahureksa, penguasa Gunung Slamet serta mahkluk halus yang ada di dusun tersebut.

Tradisi Upacara Ruwat Bumi

Umumnya, ritual upacara ruwat bumi ini berfungsi untuk menjaga keseimbangan alam. Selain itu, tradisi ritual upacara ruwat bumi ini merupakan salah satu bentuk kepercayaan masyarakat Dusun Bambangan sebagai masyarakat lereng Gunung Slamet dalam memperoleh keselamatan, kententraman, berkah/rezeki dan kebaikan bagi masyarakat setempat.

Hasil bumi yang diberikan sebagai media persembahan dalam ritual upacara ruwat bumi ini berupa makanan tradisional Jawa. Selain itu juga ada hidangan untuk pemain lengger, berupa makanan khas Jawa pula dan ditambah dengan aneka minuman, seperti wedang putih, wedang teh, wedang kopi, wedang arang-arang kambang dan wedang jembawuk.

Dusun yang dihuni sekitar 400 jiwa yang terbagi dalam 230 kepala keluarga (KK) ini percaya dengan ritual yang sudah menjadi tradisi turun-temurun akan berdampak baik bagi kelangsungan dusun, salah satunya adalah dihindarkan dari bencana erupsi.

Baca Juga:Pendaki Gunung Slamet Meninggal Dunia Saat Dievakuasi

Masyarakat setempat juga percaya bahwa Gunung Slamet tidak akan meletus hingga parah. Kalaupun ada aktivitas vulkanik yang terjadi, aktivitas tersebut dianggap hanya batu saja atau oleh masyarakat setempat  dikenal dengan istilah ngempos.

Menurut mitos,  jika Gunung Slamet sampai meletus parah, akan membelah pulau Jawa menjadi dua bagian. Mitos ini berkembang seiring banyaknya para pendaki yang mengunjungi dusun ini karena seperti yang telah disebutkan, jalur Bambangan ini menjadi jalur favorit di kalangan pendaki.

Sementara itu, menurut Kepala Bidang Geologi Dinas Energi Sumber Daya Mineral Kabupaten Banyumas, Ir Junaedi (2012), menyatakan bahwa kondisi Gunung Slamet tidak berbahaya, hal ini dibuktikan melalui catatan aktivitas vukanologi Gunung Slamet yang pernah meletus pada 1700-an hingga terakhir erupsi pada 2009. 

Selain itu, karakter letusan Gunung Slamet ini bertipe stromboli, artinya setiap material yang dikeluarkan oleh letusan Gunung Slamet akan kembali jatuh di sekitar kawah atau badan gunung bertambah besar.

Tanah yang Subur dan Penghasil Sayur Mayur Terbesar di Jateng

Terkait sejarah dusun, belum ada sejarah pasti yang ditemukan, namun berdasarkan pengumpulan data dari masyarakat setempat, asal penamaan “Bambangan” pada dusun ini sudah ada dari zaman dahulu yang terdiri dari kata ‘abang’ yang dalam bahasa Jawa berarti warna merah yang mengacu pada kondisi tanah yang subur di dusun tersebut.

Salah satu warga setempat mengatakan “Jaman kuno wis dinamani bambangan, sekang lemah abang ditanduri dadi pangan, dadi dinamai Bambangan” yang bermakna tanah merah merujuk pada kondisi tanah yang subur dan jika ditanam benih akan menghasilkan bahan makanan. Sebab dusun tersebut berada di lereng gunung yang dikenal dengan tanah merah nan suburnya, oleh karena itu dusun tersebut dinamakan Dusun Bambangan.

Secara etimologi, penamaan dusun yang berarti tanah merah memperlihatkan kondisi tanah setempat yang subur khas daerah lereng Gunung  Slamet sehingga di balik mitologi yang berkembang, Dusun Bambangan merupakan penghasil sayur mayur terbesar di Jateng, khususnya tomat, cabai, kubis, bawang, seledri dan kentang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini