SuaraJawaTengah.id - Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Magelang tahun ini naik 20 persen dibandingkan tahun 2020. Didominasi KDRT dan kekerasan seksual anak.
Staf Divisi Advokasi, Dokumentasi dan Publikasi Sahabat Perempuan, Dian Prihatini mengatakan, data ini dikumpulkan dari jumlah kasus yang ditangani Sahabat Perempuan hingga November 2021.
“Kalau dari tahun 2020 total ada 51 kasus (ditangani Sahabat Perempuan). Tapi sampai November 2021 sudah ada 64 kasus. Dominasi kasus masih KDRT dan kekerasan seksual anak,” kata Dian kepada SuaraJawaTengah.id, Sabtu (4/12/2021).
Menurut Dian, selain jumlah kasus yang ditangani bertambah signifikan, jenis kejahatan seksual juga menunjukan tren perubahan. Sejumlah kasus yang ditangani Sahabat Perempuan berupa kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Baca Juga:Ngaku Depresi dan Simpan Puluhan Pil Psikotropika, WNI di Magelang Berakhir Ngenes
Kekerasan berbasis gender online berupa penyebaran konten intim tanpa persetujuan (non-konsensual). Pelaku umumnya mengancam menyebar konten intim korban ke media sosial dengan tujuan memeras atau paksaan melakukan sesuatu.
“Misal mereka pacaran cuma sudah kirim-kiriman foto (intim). Saat putus diancam oleh pasangannya yang misal nggak mau pisah. ‘Kalau kamu mau pisah, nanti aku sebarin’. Atau ancaman ‘kalau kamu nggak mau berhubungan seksual, nanti aku sebarin,” ujar Dian.
Penanganan kasus KBGO sering menemui kesulitan karena masyarakat masih ragu mencari keadilan melalui jalan hukum. Masyarakat kurang paham tentang pasal hukum yang melindungi mereka dari kekerasan gender online.
“Itu miris. Sampai saat ini belum ada undang-undang khusus yang mengatur KBGO. UU Informatika dan Transaksi Elektronik, jika belum ada transfer (konten) juga agak sulit untuk dilaporkan secara hukum," ujarnya.
Pelaku yang biasanya menggunakan fitur anonim di media sosial juga menyulitkan penyelidikan. Sebab akses digital forensik dan kapasitas SDM dalam penindakan kasus kekerasan berbasis gender online belum merata.
Baca Juga:Mencermati Jejak Kriminal Dukun IS, 'Si Pencabut Nyawa' Asal Magelang
Pada rangkaian “16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2021” Sahabat Perempuan mendorong pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Pengesahan RUU TPKS dapat menjadi solusi penanganan kasus yang lebih memperhatikan hak korban. Selain penindakan, dalam rancangan UU diatur soal pencegahan dan hak konseling bagi korban kekerasan seksual.
“Karena di situ (RUU TPKS) lebih lengkap dan memperhatikan hak korban. Ada pencegahan juga. Paket komplit. Sampai detik ini kekerasan seksual yang korbannya dewasa, lumayan sulit mendapat keadilan,” ujar Dian.
Lonjakan Kasus KBGO
Komnas Perempuan menerima 940 kasus KBGO sepanjang 2020. Jumlah itu meningkat 3 kali lipat (281 kasus) dari tahun 2019.
Lembaga bantuan hukum perempuan, LBH APIK juga mengalami lonjakan penanganan kasus kekerasan seksual melalui teknologi digital. Dari 17 kasus pada tahun 2019, menjadi 307 kasus selama tahun 2020.
Lembaga nirlaba perlindungan hak digital SAFEnet bahkan mencatat lonjakan penanganan kasus yang “fantastis”. Selama Maret-Juni 2020, SAFEnet mendampingi 169 pengaduan penyebaran konten intim tanpa persetujuan (non-konsensual).
Dalam tempo 3 bulan, terjadi lonjakan pengaduan 400 persen dari sekitar 45 aduan penyebaran konten intim non-konsensual di tahun 2019.
Patut dicatat, selama Maret-Juni 2020 merupakan masa awal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kegiatan masyarakat terkonsentrasi di rumah sebagai langkah penanganan Covid-19.
“Berarti tidak cuma di Magelang saja. Secara umum memang ada peningkatan KBGO,” kata Staf Divisi Advokasi, Dokumentasi dan Publikasi Sahabat Perempuan, Dian Prihatini.
Intensitas warga menggunakan platform digital lebih besar dibanding sebelum pandemi. Sosial media menjadi pelarian masyarakat yang ruang aktivitasnya dibatasi hanya dalam rumah.
Situasi ini menuntut masyarakat lebih bijak bersosial media. Lebih berhati-hati dan tidak mudah membagikan hal-hal berbau pribadi seperti foto atau video call.
“Di publik belum ada hukuman (tegas) untuk pelaku KBGO. Jadi pelaku cenderung menyepelekan karena menganggap belum ada hukuman yang tegas. Mungkin itu juga bisa jadi penyebab," tegasnya.
Kontributor : Angga Haksoro Ardi