"Dengan membentuk one stop services agar penanganan kekerasan dapat dilakukan secara cepat, terintegrasi dan komprehensif serta melakukan proses penegakan hukum dan memberikan layanan rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ratna Susianawati.
SAPA 129 juga diharapkan dapat menjadi layanan yang membantu upaya penanganan terhadap perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi antarwilayah dan internasional.
"Sekarang kami diberikan fungsi tambahan untuk melakukan implementasi, utamanya adalah menyediakan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi nasional antarprovinsi dan internasional," katanya.
RUU TPKS tertunda
Baca Juga:KPAI: Ada 18 Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak yang Terjadi Selama Tahun 2021
Untuk menindak pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak, dibutuhkan payung hukum yang memadai.
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) merupakan RUU yang dinanti semua pihak untuk dapat mencegah terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Namun demikian, RUU TPKS tidak masuk dalam putusan rapat paripurna DPR pada Kamis (16/12) sehingga membuat banyak pihak kecewa.
"Kalau kecewa, tentu kita kecewa, karena ini (RUU TPKS) lagi dinanti oleh publik dan menjadi kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak," kata Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya.
Namun demikian, Willy tidak mau larut dalam kekecewaan. Dia menegaskan tidak akan berhenti berjuang hingga RUU TPKS disahkan di paripurna dan menjadi Undang-undang.
Baca Juga:Seperti Dendam, Kekerasan Seksual di Ranah Pendidikan Harus Dibayar Tuntas!
"Saya tetap optimistis (pengesahan RUU TPKS) ini hanya masalah waktu saja. Saya akan mencoba berkomunikasi dengan pimpinan DPR agar RUU ini bisa diparipurnakan di masa sidang tahun depan," ujar Anggota Komisi XI DPR ini.