"Pagi berangkat, sampai sore. Tapi sekarang saya jualan tidak setiap hari. Kalau mood saja, kadang ya seminggu sekali," tuturnya.
Jika sedang libur berjualan, sehari-hari ia biasa menggarap lahan sawah miliknya. Di usia yang beranjak senja, jualan bukan lagi penghidupannya. Karena pikulan yang dibawa cukup berat.
"Ya saya hanya cari hiburan saja sekarang. Tidak seperti dulu yang keliling setiap hari. Yang penting bisa dapat untung saja," katanya.
Kuati (50), pelanggan Mbah Supri mengaku senang dengan sistem pembayaran yang ditawarkan. Karena rambutnya kerap kali rontok dan hanya dibuang saja.
Baca Juga:Alasan Keluarga Inti, Istri Bupati Budhi Sarwono Menolak Diperiksa KPK
"Tadi saya bawa rambut rontok seperempat ons, dihargai Rp 10 ribu. Saya beli baskom plastik. Lumayan buat wadah piring atau gelas yang sudah dicuci," celetuknya.
Layaknya seperti di pasar tradisional, tawar menawar hargapun tetap dilakukan. Namun tetap diselingi dengan canda tawa hingga mencapai kesepakatan.
Lain halnya dengan Saminah (69), ia membeli 2 tampah dengan rambut rontok seberat setengah ons. Namun karena dirasa kurang, ia diminta untuk menambah uang sebesar Rp 15 ribu.
"Ini tampah nantinya saya gunakan untuk menjemur kecambah. Karena anak saya biasa jualan kecambah di pasar. Lumayan lah bisa irit. Ini kalau beli di pasar, satunya tidak boleh Rp 20 ribu pasti," ungkapnya.
Kontributor : Anang Firmansyah
Baca Juga:Dipanggil KPK, Istri Bupati Banjarnegara Menolak Jadi Saksi Kasus Suaminya