Buat orang Tionghoa, malu besar jika ada anggota keluarga yang masuk Islam. Mereka biasanya akan diusir dari rumah, dihapus dari daftar penerima warisan, atau dikucilkan oleh komunitas China.
“Saya diancam oleh bapak saya. ‘Papa sudah kecolongan 2 anak (masuk Islam), jangan sampai yang ketiga kali kamu’. Padahal waktu itu saya sudah tertarik,” ujar Mahdi.
Tapi niat Mahdi masuk Islam sudah kuat. Tanggal 17 Ramadhan, dia diajak kakaknya menemui seorang guru. Habib Muhammad bin Hasan Alaydrus. Usia Mahdi saat itu baru 10 tahun.
Mahdi menemui Habib Muhammad Alaydrus di salah satu masjid di bilangan Rawabuaya, Jakarta Barat. Kebetulan Habib Muhammad mendapat giliran memimpin shalat tarawih di masjid tersebut.
Baca Juga:Ini Cara Atur Anggaran Untuk Dana Angpau Hari Raya Imlek
“Bakda tarawih saya dituntun baca kalimat syahadat. Setelah itu mulai saya belajar Islam lebih dalam.”
Di rumah, Mahdi merahasiakan sudah masuk Islam. Shalat dan puasa dilakukan sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh kedua orang tua.
Saat bulan Ramadhan tahun berikutnya, Mahdi mulai belajar mengaji kepada Habib Husein bin Muhammad Alaydrus. Kepada putra paling kecil Habib Muhammad ini, Mahdi belajar membaca Al Quran secara privat.
Selain berguru kepada Habib Muhammad, Mahdi juga kerap menghadiri taklim Habib Abdurrahman Al Jufri di Pekojan, Jakarta Barat. Kepada Habib Abdurrahman dia belajar ilmu fikih lanjutan.
Selamatan Khitan di Rumah Tetangga
Baca Juga:Dua Pilihan Kue Manis Untuk Rayakan Tahun Baru Imlek Bersama Keluarga
Masalah besar muncul saat Mahdi mendekati usia baligh. Habib Muhammad memerintahkan Mahdi untuk khitan sebagai penyempurnaan ajaran Islam.
“Saya masuk SMP dan mendekati usia baligh. Guru saya bilang ayo sunat kalau nggak salat nggak sah dan lain sebagainya. Saya putar otak bagaimana caranya bisa sunat,” ujar Mahdi.
Terpaksa Mahdi mengadu pada ibunya bahwa dia telah memeluk agama Islam. Reaksi sang ibu malah mendukung. Mahdi dibelikannya sarung dan peci. Tapi niat untuk khitan belum juga sampai hati diutarakan kepada ibu.
Tidak hanya mendukung, ibu juga membantu Mahdi merahasiakan status ke-Islaman di hadapan ayah. Saat Ramadhan misalnya, saat tiba waktu berbuka, ibu melarang Mahdi langsung makan dan minum karena akan ketahuan sedang berpuasa.
“Kalau saya shalat maghrib di rumah, ibu jaga di luar. Begitu ayah datang, ibu saya bilang ‘ayo cepet shalatnya, bapak sudah datang’. Adzan maghrib, waktu buka saya nggak boleh langsung makan-minum karena nanti ketahuan bapak. Disuruh nunggu 10 menit. Takut ketahuan karena rahasia semua.”
Saat berusia 12 tahun, niat Mahdi untuk khitan sudah bulat. Berbekal uang Rp 15 ribu untuk ongkos dokter, Mahdi diantar tetangga ke tempat khitan.