Sering Disebut Takhayul, Suhu Hwat yang Bisa Membaca Feng Shui: Bukan Ilmu Klenik

Feng shui sering disalahartikan sebagai takhayul atau ramalan yang bersifat klenik. Kini dianut warga keturunan Tionghoa hanya sebatas tradisi

Budi Arista Romadhoni
Kamis, 03 Februari 2022 | 11:06 WIB
Sering Disebut Takhayul, Suhu Hwat yang Bisa Membaca Feng Shui: Bukan Ilmu Klenik
Hoo Gien Hwat atau dikenal sebagai Suhu Hwat berdoa di depan altar Avalokitesvara atau Dewi Kwan Im. [suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

SuaraJawaTengah.id - Feng shui sering disalahartikan sebagai takhayul atau ramalan yang bersifat klenik. Kini dianut warga keturunan Tionghoa hanya sebatas tradisi.

Memasuki pintu utama rumah Hoo Gien Hwat, kita disambut altar penghormatan untuk para leluluhur. Meja sembahyang ini sering kita jumpai pada rumah-rumah warga Tionghoa.

“Ini altar leluhur kami. Di sini ada kakek buyut saya. Terus kakek-nenek dan papa-mama. Bagi saya ini monumen keluarga. Tanpa mereka tidak ada saya,” kata Hoo Gien Hwat yang biasa disapa Suhu Hwat.

Disematkannya gelar suhu di depan nama Hoo Gien Hwat bukan sembarangan. Hoo Gien Hwat terkenal sebagai master feng shui atau hong shui menurut dialek Hokkian.

Baca Juga:Viral Video Kerumunan Diduga Perayaan Imlek di Sebuah Mal, Netizen: Siapa yang Kasih Izin sih?

Ilmu feng shui dipelajari Hoo Gien Hwat dari ayahnya, Swie Tjien atau lebih dikenal dengan nama Suhu Djoko. Dari sang ayah, Hoo Gien Hwat mempelajari feng shui secara teori dan praktik.

“Kami lima bersaudara. Saya yang nggak punya rumah sendiri, jadi tinggal bersama papa. Jadi papa kemana-mana saya yang antar.”

Dari seringnya mendampingi Suhu Djoko melayani klien, Hoo Gien Hwat mulai mempelajari teori feng shui. Awalnya dia kesulitan karena tidak mahir membaca aksara hanzi (huruf Mandarin).

Padahal buku-buku terkait feng shui semua ditulis dalam bahasa Mandarin beraksara hanzi.

Hoo Gien Hwat mulai belajar teori feng shui dengan manyalin huruf hanzi ke bahasa latin. “Waktu kecil saya pernah les membaca Mandarin. Tapi sudah banyak yang lupa.”

Baca Juga:Selain Tahun Baru Imlek, Ini Daftar Tanggal Merah Bulan Februari 2022

Tidak seperti sistem alfabet, dimana satu simbol mewakili satu huruf, satu huruf pada aksara hanzi mewakili satu kata. Diperkirakan terdapat 9 ribu huruf hanzi yang digunakan dalam bahasa Mandarin.

Sambil mempelajari teori, Hoo Gien Hwat juga belajar praktik langsung di lapangan. Setelah Suhu Djoko meninggal tahun 2003, Hoo Gien Hwat otomatis melanjutkan praktik feng shui.

Dasar ilmu feng shui adalah memahami sifat 10 batang langit dan 12 cabang bumi. Dalam Mandarin disebut Tien Khan dan Tie The.

Sepuluh batang langit itu terdiri dari 5 elemen: kayu, api, tanah, logam, dan air. “Tahun 2020 kemarin itu shio tikus logam positif. Tahun 2021 shio kerbau logam negatif.”

Dua belas shio yang membawa sifat dan karakter dipelajari para leluhur Tiongkok melalui pengamatan posisi planet Jupiter. Posisi Jupiter yang berubah setiap tahun, kemudian ditandai dengan nama-nama hewan.

Perubahan kondisi alam pada tahun-tahun tersebut kemudian dicatat. Pengetahuan itu yang kemudian menjadi dasar menentukan feng shui.

“Jadi yang diamati pergeseran di alam semesta. Alam semesta ini bergeser sehingga tercipta waktu, iklim, sampai ke bencana. Pergeseran itu mempengaruhi makhluk hidup, baik yang bergerak maupun tidak bergerak,” ujar Suhu Hwat.

Perubahan siang-malam misalnya, menimbulkan reaksi biologis pohon saat memproduksi oksigen dan karbon. Alam juga mempengaruhi manusia yang memiliki karakter dan logika.

Menurut Shu Hwat, feng shui tidak mengubah takdir alam atau karakter manusia. Feng shui hanya membacanya sehingga manusia dapat mengantisipasi.

“Jadi kita hanya menyikapi. Ilmu ini tidak mengubah alam atau manusia. Tapi karena sudah ada hasilnya (pengamatan para leluhur), itu yang kita pegang untuk menyikapi.”

‘Mata’ Menara Petronas

Unsur shio pada tahun 2022 adalah macan air. Elemen pokok pada macan adalah kayu. Pada shio macan air terdapat 2 elemen yang harmonis; kayu dan air.

Ilustrasi Macan Air
Ilustrasi Macan Air

Shio yang selaras dengan tahun macan air adalah shio anjing, kelinci, dan kuda. Sedangkan shio yang kurang harmonis antara lain macan itu sendiri, ular dan babi. “Agak sedikit penurunan dibanding tahun kemarin. Yang paling jelek shio kera,” kata Suhu Hwat.  

Beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh pemilik shio kera antara lain menjenguk orang sakit, pergi tempat orang meninggal, ke makam, serta menghadiri panggih manten.

Acara panggih manten atau prosesi mempertemukan mempelai pria dan wanita dalam tradisi pernikahan Jawa, sejatinya memiliki energi positif. Tapi karena suka cita yang meluap pada acara itu, energinya menjadi terlalu besar untuk orang-orang tertentu. 

Perubahan siklus alam mempengaruhi bio ritme manusia. Tiap orang memiliki bio ritme masing-masing yang ditentukan oleh waktu kelahiran.

“Shio yang kami sebut tadi istilahnya ada ketidakselarasan dengan alam di tahun macan air ini. Mereka akan mengalami penurunan bio ritme. Yang paling parah shio kera. Efeknya bisa kesehatan, kehilangan atau kerugian.”

Orang awan sering menghubungkan feng shui denga ilmu tata letak bangunan atau ruang. Posisi bangunan diyakini mempengaruhi energi yang timbul.

Energi negatif pada rumah atau tempat usaha akan mengganggu bio ritme penghuninya. Kontur tanah menjadi unsur dasar yang paling penting diperhatikan dalam membangun rumah. 

“Dasar feng shui itu bersandar gunung, melihat air. Jadi di belakang harus lebih besar, lebih tinggi untuk sandaran dan di depan lebih rendah.”

Suhu Hwat memberi contoh tata letak kota Kuala Lumpur, Malaysia. Konon saat pertama dibangun, ada satu unsur yang kurang dari kota Kuala Lumpur sehingga ekonomi Malaysia kurang maju.

Malaysia maju pesat sesudah dibangun menara kembar Petronas. “Jadi ceritanya Malaysia (dulu) belum ada matanya. Lalu dibangun 2 menara ini untuk mata,” ujar Suhu Hwat.  

Beberapa pantangan yang diperhatikan dalam membangun rumah antara lain pintu utama tidak boleh menghadap langsung ke pohon besar. Tidak menghadap tempat pembuangan sampah dan rumah duka.

Kemudian rumah tidak boleh menghadap makam dan jembatan. Diyakini elemen pada tempat-tempat itu membawa unsur negatif bagi rumah.

Altar Tan Tik Sioe Sian

Hoo Gien Hwat atau dikenal sebagai Suhu Hwat berdoa di depan altar Avalokitesvara atau Dewi Kwan Im. [suara.com/ Angga Haksoro Ardi]
Hoo Gien Hwat atau dikenal sebagai Suhu Hwat berdoa di depan altar Avalokitesvara atau Dewi Kwan Im. [suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

Hoo Gien Hwat atau Suhu Hwat lahir tahun 1958. Dia menghabiskan masa kecil  hingga sekarang di rumah keluarganya di tepi jalan Kelurahan Mungseng, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Sesuai feng shui, rumah peninggalan Suhu Djoko menduduki tanah yang posisinya lebih rendah dari areal di belakangnya. Muka rumah menghadap lembah berpemandangan hamparan sawah.

Sebagai pemegang adat tradisi Tionghoa, selain altar leluhur, di rumah Suhu Hwat juga terdapat altar penghormatan untuk orang-orang yang dianggap sebagai guru spiritual. 

“Ini Lo Liep Kian. Ahli feng shui yang tinggal di Wonosobo dan meninggal tahun 1959. Tidak berkeluarga. Tidak ada anak, tidak ada istri.”

Baik pada altar leluhur maupun guru spiritual, biasanya diletakkan benda-benda peninggalan atau barang kesukaan. Pada altar penghormatan Lo Lip Kian, terdapat bong untuk menghisap candu. “Dia suka menghirup opium."

Di sebelah altar Lo Liep Kian terdapat altar Shie Lay Yang. Konon sebelum memutuskan meninggalkan keduniawian dan menjadi pertapa, Shie Lay Yang adalah istri seorang pengusaha kaya.

Peninggalan Shie Lay Yang adalah sisa lilin yang digunakannya sebelum meninggal dan setumpuk kartu ceki (kartu Cina). Shie Lay Yang dikenal sebagai peramal yang menggunakan media kartu ceki.

“Ada rokok dan minyak kampak. Beliau perokok dan setiap mau merokok, rokoknya diolesi minyak kampak. Ini tanggal meninggalnya, 7 Februari 1985. Usia 105 tahun.”

Di sebelahnya terdapat altar Tan Tik Sioe Sian. Pemuda pertapa kelahiran Surabaya yang menghabiskan waktu 7 tahun mengasingkan diri di Gunung Wilis. Orang asing menyebut dia sebagai Ramamurti Van Java.

Selain di Gunung Wilis, Tan Tik Sioe Sian sempat bertapa di hutan Rejotangan, Temanggung, sebelum melanjutkan perjalanan ke barat melewati Parakan, Temanggung, dan Jakarta.

Tan Tik Sioe Sian mengembara hingga Penang, Malaysia dan meninggal disana. Menurut Suhu Hwat, tempat Tan Tik Sioe Sian meninggal sekarang menjadi objek wisata Snake Tample.

“Peninggalannya saya memiliki salah satu jubah dia. Jadi dia multi keyakinan. Jubah yang ada di tempat kita ini yang gambar salib. Kalau yang dia pakai sehari-hari kebanyakan bergambar Pat Kwa atau delapan diagram,” kata Suhu Hwat.

Diagram delapan mata angin dengan lambang tai chi (yin-yang) di tengahnya merupakan simbol keseimbangan dan keharmonisan.

Ada cerita menarik terkait perjalanan spiritual Tan Tik Sioe Sian. Dalam perjalanan ke barat, Tan Tik Sioe Sian sempat singgah di Parakan, Temanggung.

Dia mendengar di Parakan tinggal seorang pendekar kung fu tersohor, Louw Djing Tie. Louw Djing Tie memiliki satu jurus hebat dan Tan Tik Sioe Sian ingin sekali melihatnya.

Tapi saat itu Louw Djing Tie sudah tua dan rabun. Fisiknya lemah. Secara kasat mata Louw Djing Tie sudah tidak mampu lagi mempraktikkan jurus itu.

“Tan Tik Sioe Sian langsung bilang ‘kamu bisa’. Louw Djing Tie berdiri dan langsung main jurus. Selesai jurus itu, Louw Djing Tie kembali lagi ke keadaan semula.”

Menurut Suhu Hwat, altar pemujaan Tan Tik Sioe Sian juga berfungsi sebagai penangkal sihir. Sebagai praktisi feng shui, banyak orang iri dan mencobainya dengan mengirim serangan sihir. 

“Menurut yang sudah mengalami, energi positif Tan Tik Sioe Sian besar sekali. Walaupun cuma foto yang segini (dua ruas jari). Dipajang di rumahnya dari yang tadinya sering merasa terganggu, kita kasih foto itu sudah berhenti yang ganggu.”

Kemudian ada altar Avalokitesvara atau Dewi Kwan Im. Di kawasan Asia bagian timur, Dewi Kwan Im diyakini sebagai perwujudan Buddha Welas Asih. Altar ini biasanya difungsikan sebagai tempat orang-orang memohonkan pertolongan.

Altar Hok Tik Cing Sin atau Amurvabumi ditempatkan sebagai altar pokok pemujaan atau altar tuan rumah. Hok Tik Cing Sin juga dijadikan dewa tuan rumah di klenteng Liong Hok Bio, Kota Magelang, Kong Ling Bio, Temanggung, dan Hok An Kiong, Muntilan.

Dikenal sebagai Dewa Bumi, Hok Tik Cing Sin mengajarkan tentang kebajikan. “Tik atau tek itu adalah kebajikan. Orang yang berhati mulia itu ibarat dewa yang hidup di dunia. Fuk adalah keberkahan atau keberuntungan.”

Altar lainnya diperuntukkan untuk memuja Dewa Thay Sui atau penguasa kehidupan tahun ini. Terdapat 60 macam gambar yang mewakili Dewa Thay Sui. Masing-masing gambar mewakili shio dan unsur alam pada tahun berjalan.

“Ini menggambarkan tentang Jupiter itu tadi. Dia bukan cuma bergeser 12 titik seusia shio, tapi dikali 5 unsur. Jadi 60 perubahan bentuk.”

Selain itu ada patung laughing Buddha, Shidarta Gautama, dan Shirdi Baba. Shirdi Baba diyakini sebagai orang suci yang memiliki tingkat spiritual tinggi. Setelah meninggal, Shirdi Baba digantikan oleh Sathya Sai Baba.

Ajaran yang Mulai Ditinggalkan

Umat Tri Dharma di Kabupaten Temanggung membersihkan rupang dewa di Kelenteng Kong Ling Bio Temanggung. [ANTARA/Heru Suyitno]
Umat Tri Dharma di Kabupaten Temanggung membersihkan rupang dewa di Kelenteng Kong Ling Bio Temanggung. [ANTARA/Heru Suyitno]

Menjelang Imlek, seluruh wadah dupa dibersihkan. Abu dupa diayak hingga halus untuk kemudian dikembalikan ke wadah semula. “Sebagai ungkapan penghormatan. Abu dupa tidak dibuang. Tiap tahun diayak saja. Ini sudah 40 tahun lebih,” kata Suhu Hwat.

Menurut Suhu Hwat, sekarang tidak banyak lagi orang Tionghoa yang menyediakan altar pemujaan di rumah. Kebanyakan mereka tidak memiliki waktu untuk mengurus altar.

Padahal dalam merawat altar terkandung nilai-nilai penghormatan dan spiritual yang tinggi. “Kalau benda-benda ini saja kita merawat dengan hati-hati dan hormat, apalagi dengan yang bernyawa. Harusnya kan lebih. Generasi sekarang sudah nggak mau repot.”

Meski belakangan generasi Tionghoa ada yang mulai tertarik merawat altar, mereka kalah dengan ketekunan orang-orang keturunan India. “Sebagian besar rumah pasti ada altarnya. Dari anak-anak memang sudah dididik begitu.”

Menurut Suhu Hwat, agama Hindu mengenal perhitungan tahun yang mirip dengan ilmu feng shui. Primbon yang dikenal oleh masyarakat Jawa juga peninggalan agama Hindu.  

“Perhitungan yang di primbon itu kan peninggalan Hindu. Tapi yang primbon ini kan cuma mengikuti yang sudah ada. Hanya dicetak ulang, tapi tidak mengikuti pergeseran waktu atau tahun,” katanya

Di India masih banyak pendeta Hindu yang mempelajari ilmu pergesaran tahun berdasarkan perubahan posisi Jupiter, Venus, dan Mars.

Sebelum pandemi, minimal sebulan sekali Suhu Hwat berangkat ke Jakarta memenuhi panggilan para klien. Kebanyakan orang-orang keturunan India.

Mereka berkonsultasi soal tata letak rumah, tempat usaha, karir atau jenis pekerjaan yang cocok. Mayoritas warga India di Jakarta menggeluti usaha tekstil, garmen, alat olah raga, atau produksi film.

Salah satu kliennya saat ini menduduki posisi penting di salah satu perusahaan impor film. Suhu Hwat menyarankan orang ini alih profesi sesuai feng shui, setelah bisnis penjualan kainnya bangkrut.

Suhu Hwat menegaskan, ilmu feng shui bukan ilmu ramalan. Feng shui hanya membantu orang membuat keputusan sesuai kejadian yang pernah terjadi di masa lalu.

“Kedepan itu cuma support saja. Misal kamu cocoknya rumah menghadap kemana, usaha apa. Kedepannya cuma itu saja.”

Feng shui menurut Suhu Hwat juga tidak bertentangan dengan ajaran agama apapun. Feng shui dianggap identik dengan ajaran Taoisme sebab pertama kali disebarkan oleh para pendeta aliran Tao.

“Ini betul-betul ilmu pengetahuan. Cuma pengembangan ilmu ini dari sananya (Tiongkok) kebanyakan yang membawa pendeta Taoisme.”

Feng shui dapat dipelajari lewat buku Tong Shu/ Guang Jin yang diterbitkan di Taiwan setiap tahun. Buku yang biasa disebut “Chinese Almanak Book” ini salah satunya memuat pedoman mencari hari baik sesuai feng shui.

“Jadi sekitar bulan September kalau pintu impor-nya lancar buku ini sudah masuk ke Indonesia. Tapi kalau lagi ada masalah di pelabuhan bisa sampai Oktober-November,” kata Suhu Hwat.

Dia berharap masyarakat terutama warga Tionghoa, memahami feng shui sebagai ilmu pengetahuan. Sehingga unsur okultisme yang bersifat supranatural dan mistis tidak begitu ditonjolkan.

“Selama ini ilmu pengetahuannya ketinggal. Budayanya yang tinggi. Feng shui bukan ilmu klenik. Saya coba mengangkat ilmu pengetahuan ini semampu saya,” pungkas Suhu Hwat.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak