SuaraJawaTengah.id - Kasus COVID-19 kembali melonjak seiring dengan adanya varian baru Omicron. Namun demikian, masyarakat tidak perlu panik dengan munculnya varian yang ditemukan pertama di Afrika Selatan tersebut.
Juru bicara Satgas COVID-19 dari RS Universitas Sebelas Maret (UNS) dr. Tonang Dwi Ardiyanto Sp PK., PhD. mengatakan bahwa cepatnya penularan virus COVID-19 varian Omicron diikuti penurunan kasus yang cepat pula.
"Walaupun angka penularannya cepat, namun angka perawatan pasien di rumah sakit masih signifikan di bawah gelombang Delta Juli 2021 lalu,” kata dr. Tonang dikutip dari ANTARA Jumat (25/2/2022).
Menghadapi pandemi COVID-19 selama dua tahun belakangan ini, para ahli kesehatan sudah lebih memahami pola-pola dan karakteristik penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 tersebut.
Baca Juga:Brruussss!! Jalanan Kota Solo Disemprot Disinfektan, Polresta Solo Terjunkan Water Cannon
Meski kecepatan penularan varian Omicron lebih cepat dari Delta, namun dr. Tonang mengatakan ada harapan puncak Omicron juga akan dengan lebih cepat bergerak ke melandai tanpa harus banyak pasien yang dirawat maupun menelan korban jiwa, tak seperti gelombang Delta.
Subvarian Omicron BA.1, menurut dr. Tonang, memiliki karakteristik cepat berkembang di saluran pernapasan, tapi lambat berkembang di paru-paru.
"Inilah yang kita duga menjadi salah satu faktor gejala yang dialami pasien terinfeksi Omicron cenderung lebih ringan dari pada varian Delta. Tapi kita patut khawatir dengan subvarian Omicron BA.2 yang kemampuan berkembang di paru-paru bisa mendekati kemampuan Delta," kata dr. Tonang.
Diakui oleh dr. Tonang, rata-rata derajat keparahan penyakit pada pasien terinfeksi Omicron ini lebih ringan daripada varian Delta tahun lalu.
Namun begitu, ia berharap dengan banyaknya yang mendapat kekebalan alami dari infeksi dan juga makin banyaknya yang mendapatkan vaksinasi, varian virus ini tidak akan berkembang lebih jauh.
Baca Juga:Duh! Dalam Sehari Ditemukan 963 Kasus COVID-19 di Sumsel
"Saya yang termasuk mempercayai apabila varian baru mendominasi maka pelan-pelan varian sebelumnya berkurang. Tapi sebenarnya kita tidak perlu terjebak dengan Omicron dan Delta karena semuanya sama-sama virus COVID-19. Hanya saja semua varian virus ini berisiko membuat pasiennya bergejala berat. Perkara Omicron atau bukan itu kepentingannya untuk epidemiologis, agar bisa memetakan dan melihat tren ke depan. Tapi bagi masyarakat, apapun varian COVID-19 yang menginfeksinya, cara penanganannya sama," ujar dr. Tonang.
Saat ini jumlah kasus dirawat di RS UNS sedikit mengalami peningkatan. Akan tetapi saat dibandingkan dengan gelombang Delta yang lalu relatif lebih rendah, kata dr. Tonang.
"Kalau di saat gelombang Delta yang lalu kita mengalih fungsikan lebih dari separuh tempat tidur, hampir 70 persen disediakan untuk penanganan COVID-19. Saat ini hanya sekitar 40 persen yang kami siapkan dan itu belum penuh,” kata dr. Tonang.
Selain saat ini mampu mempertahankan fasilitas pelayanan kesehatan, diketahui juga perbandingan kasus kematian periode Omicron dengan Delta juga berbeda secara signifikan. Namun dr. Tonang menyarankan Kemenkes untuk mengkaji lebih mendalam mengenai kasus kematian saat ini.
Menurut pengamatan dr. Tonang, untuk wilayah Jakarta, apabila diambil rata-rata kasus mingguan maka puncaknya terjadi 10 Februari lalu, lalu diikuti penurunan angka kematian pada 20 Februari.
"Apabila polanya seperti ini, maka angka kematian akan ikut turun atau melandai beberapa pekan setelah kasus konfirmasi harian menurun juga."
Masyarakat perlu mengetahui beberapa hal untuk menghadapi periode Omicron yang tidak berbeda jauh dengan cara-cara yang sudah dilakukan saat menghadapi gelombang Delta.
“Apabila timbul gejala, maka saat itu juga kita harus periksa (testing) PCR/Antigen. Saat hasilnya negatif, maka jangan langsung senang dahulu, tunggu dua hari lagi untuk memastikan kembali melalui tes PCR/Antigen apakah benar-benar negatif atau tidak.
Apabila kontak erat, maka dilakukan tes PCR/Antigen pada awalnya (entry test). Baik hasilnya positif maupun negatif, kontak erat harus melakukan karantina 5 hari. Nanti di hari kelima kita ulang kembali tes kedua (exit test). Apabila hasil exit test negatif, maka karantina dianggap selesai,” jelas dr. Tonang.
“Tapi secara keseluruhan kita berharap periode ini segera mencapai puncak dan segera turun agar bulan Ramadan tahun ini kita tidak terjebak lagi dengan polemik shalat tarawih maupun lebaran yang dua tahun ini jadi terganjal akibat COVID-19,” kata dr. Tonang.