Saat Majapahit berada di ujung masa kekuasannya, Kebo Kanigoro memilih mengembara menjadi pertapa di lereng Merapi dan Merbabu. Petilasan Kebo Kanigoro sendiri berada di Dusun Pojok, Desa Samiran, Kecamatan Selo, Boyolali.
Menurut versi Mbah Tasih, pada akhir masa Kerajaan Majapahit, Kebo Kanigoro dan pengikutnya yang beragama Hindu menolak masuk Islam.
“Ini tokoh dari Kadipaten Pengging, pengawalnya Kebo Kanigoro. Pada peristiwa masuknya Islam, Kebo Kanigoro dan para pengikutnya disuruh masuk Islam. Mereka bersikukuh menolak.”
Perjalanan mengikuti Kebo Kanigoro itu yang membuat KRT Suronolo akhirnya tiba di wilayah hutan sebelah barat kaki Gunung Merbabu. Wilayah itu nantinya menjadi cikal bakal Dusun Soronalan.
Baca Juga:Apakah Malam 1 Suro Sama dengan Malam 1 Muharram? Ini Letak Perbedaannya
Berdasarkan teori sejarah penamaan tempat, Dusun Soronalan hampir pasti diambil dari nama Suronolo. Mbah Tasih yakin, KRT Suronolo tinggal dan wafat di dusun ini.
“KRT Suronolo itu tinggal di sini sampai meninggalnya. Jadi ini bukan petilasan. Ada yang bilang, Eyang Suronolo tidak dimakamkan di sini. Kalau menurut saya tetap di sini dimakamkannya.”
Kepala Dusun Soronalan, Surandi mengatakan tradisi perayaan Suro di makam KRT Suronolo merupakan bagian dari merti dusun. Kegiatan diawali doa bersama yang dipimpin para sesepuh kampung.
“Merteni warga masyarakat supaya mendapat barokah. Melalui lantaran punden kita, diberi keselamatan dan rejeki yang mudah. Sudah menjadi tradisi, nguri-uri budaya,” ujar Surandi.
Berdasarkan keyakinan para sesepuh kampung terdahulu, haul atau peringatan wafatnya KRT Suronolo jatuh pada bulan Suro atau bulan Muharam pada penanggalan hijriah (Islam).
Baca Juga:4 Beda Malam 1 Suro dan 1 Muharram, Walau Dirayakan di Hari yang Sama
Selain mewarisi tradisi suro, para sesepuh kampung ‘ninggali’ kebiasaan melakukan mujadahan selapanan (tiap 35 hari) pada hari Jumat Legi.
Pada rangkaian perayaan 1 Suro di Dusun Soronalan, selain pertunjukan wayang kulit warga juga menggelar kirab pusaka yang diyakini sebagai peninggalan KRT Suronolo.
Pusaka berupa tombak dan keris akan dikirab menuju pesarean KRT Suronolo yang berada di ujung dusun. Bersama itu warga juga mengarak dua gunungan berupa aneka hasil bumi.
Setelah didoakan, gunungan akan diperebutkan (grebek) warga. Mereka meyakini hasil bumi yang diambil dari gunungan akan membawa berkah.
Wadah legen (air sadapan nira kelapa) yang diambil dari gunungan biasanya diletakkan di atas pintu. Cuilan sayuran dari gunungan umumnya dikubur di sekitar tegalan atau kebun.
“Mungkin sebagian orang meyakini itu ada berkahnya. Ngalap barokah. Tapi tetap mohonnya sama yang Maha Kuasa to.”