SuaraJawaTengah.id - Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menjadi tersangka kasus jual beli jabatan.
Perbuatan Mukti Agung yang baru sekitar satu tahun menjabat itu mengundang keprihatinan dan disesalkan sejumlah pihak.
Pakar Hukum Pidana Universitas Pancasakti Tegal Hamidah Abdurrachman mengaku sangat prihatin dengan kasus suap jual beli jabatan yang melibatkan Mukti Agung.
"Apalagi ini terjadi di awal-awal pemerintahan beliau. Ini baru menjabat, beliau belum menunjukkan prestasi kerja apapun, belum apa-apa kok sudah terperangkap dalam kasus korupsi suap jabatan," kata Hamidah, Selasa (16/8/2022).
Baca Juga:Klaim Tak Terbukti Korupsi, Mantan Bupati Tabanan Eka Wiryastuti Minta Diputus Bebas
Hamidah mengatakan, kasus suap jual beli jabatan yang melibatkan kepala daerah bukan kali pertama terjadi. Sehingga Mukti Agung seharusnya bisa menghindari agar tidak terjerat kasus yang sama.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menurut Hamidah juga sudah berkali-kali mengingatkan agar para bupati dan wali kota tidak melakukan korupsi. Selain memprihatinkan, dia juga menilai perbuatan Mukti Agung ceroboh.
"Di awal-awal pemerintahan kok tidak kerja dulu, menunjukkan prestasi dulu. Kemudian tugas pokok dan fungsinya dia sebagai bupati kan menyejahterakan rakyat. Itu kan belum terlihat lha kok sudah terjebak oleh korupsi. Yang saya sesalkan, Pak Agung ini pernah menjadi wakil bupati, artinya beliau tahu benar situasi di Pemalang dan juga sudah melihat, daerah lain seperti apa. Sehingga kehati-hatian, tidak tergesa-gesa, kecerobohan itu seharusnya dapat dihindari. Dengan apa? dengan melaksanakan janji-janji kampanye," kata dia.
Menurut Hamidah, suap agar bisa menduduki sebuah jabatan merupakan persoalan yang krusial di pemerintahan.
Lebih mencengangkan, tarif yang dipatok Mukti Agung untuk satu jabatan berkisar Rp60 juta-Rp350 juta.
Baca Juga:Stafsus Eka Wiryastuti Bantah Soal Suap DID Tabanan, Yakin Tak Punya Keberanian
"Nah ini sesuatu yang sangat mengerikan. Orang bekerja tidak berdasarkan prestasi, tidak berdasarkan asesmen profesional dia sebagai ASN, tapi berdasarkan tarif. Ini menurut saya kok salah besar dalam pengelolaan pemerintahan seperti ini," ujarnya.
Hamidah menyebut masyarakat menjadi yang dirugikan akibat adanya praktik jual beli jabatan. Sebab pejabat yang terpiih bukan orang-orang yang terbaik, tetapi orang yang bisa membayar.
Menurut dia, jika tidak ada praktik tersebut, pejabat yang terpilih adalah yang sudah melalui berbagai tahapan di panitia seleksi (pansel). Pansel akan secara selektif memilih.
Hamidah yang pernah ditunjuk menjadi pansel pejabat pratama di Pemalang, yakni pemilihan sekda mengungkapkan tahapan-tahapan itu antara lain tes tertulis, dan tes wawancara.
Setiap calon yang mengikuti seleksi dipelajari riwayat hidupnya, prestasinya, dan ditelusuri apakah ada catatan-catatan dalam karirnya.
Tahapan wawancara merupakan tahapan yang penting karena pansel bisa menjajaki kemampuan peserta seleksi secara manajerial, selaku manajer pemerintah, serta sikapnya terhadap atasan, sesama pejabat, dan terhadap masyarakat. Sehingga yang terpilih memang yang terbaik masyarakat akan melihat kinerjanya sungguh-sungguh.
Sebaliknya, kata Hamidah, dengan sistem jual beli jabatan yang terpilih adalah orang yang bisa membayar, dan itu belum tentu orang yang terbaik.
Selain itu, terjadi diskriminasi karena orang baik yang memilii pendidikannya dan pengalamannya bagus, tapi tidak punya uang, tidak bisa membayar, akhirnya tersisihkan.
"Kalau pejabat yang terpilih karena dia merasa untuk mendapatkan jabatan dia perlu modal, maka yang akan dia lakukan juga mungkin akan menggunakan program-programnya untuk mendapatkan kembali modalnya. Program-program itu akhirnya tidak berjalan optimal karena dia sudah terjebak dalam lingkaran itu. Orientasinya balik modal, entah apapun caranya," ujar Hamidah.
Hamidah mengatakan, seorang kepala daerah harus hati-hati, tidak boleh ceroboh, dan jangan berpikir ke arah finansial.
Dia juga berharap gubernur punya instrumen untuk mengawasi kinerja dari kepala daerah di bawah gubernur.
Salah satu instrumennya, ujar Hamidah, bisa melalui Inspektorat yang melakukan penilaian terhadap program kerja dan perilaku kepala daerah.
Gubernur menurut dia harus melakukan aspek pencegahan di awal dan jangan sampai KPK sudah bertindak, baru melakukan pencegahan.
"Semua tidak cukup dengan imbauan, tapi harus diawasi. Kenapa program ini tidak dilakukan, alasannya apa, itu harus dicari. Lalu, misalnya jauh-jauh hari sudah ada isu-isu seperti itu (jual beli jabatan) ya harus turun. Dari inspektorat atau apa. Itu harus diteliti, kenapa bupati baru sebulan duduk kok sudah melakukan rotasi atau mutasi-mutasi, tidak menghabiskan masa jabatan yang bersangkutan," ujarnya.
Hamidah juga meminta wakil bupati yang akan melanjutkan kepimpinan harus benar-benar menjalankan pemerintahan yang bersih dan baik.
Wakil bupati harus mempelajari betul cara melaksanakan azaz-azaz pemerintahan yang baik, yaitu transparan, akuntabilitas, clean and clear, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa merusak citra diri maupun secara kelembagaan, seperti suap proyek, dan jual beli jabatan.
"Kalau misalnya merasa gaji bupati kecil ya hidup sederhana, tidak perlu foya-foya, tidak perlu mengubah gaya hidup mewah. Harusnya malah lebih sederhana, lebih merakyat, sesuai dengan kemampuan. Lagipula segala kebutuhan kepala daerah itu kan sudah dicukupi. Misalnya rumah dinas, sampai dengan kebutuhan sehari-hari, transportasi, sudah dipenuhi semua. Kasarannya tinggal duduk manis, bekerja. Jangan sampai ini nanti bupati kena, wakilnya naik juga kena," tandasnya.
Koordinator Aliansi Masyarakat Pemalang Raya (AMPERA) Heru Kundhimiarso mengatakan, pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan melalui aksi, demontrasi, dan tulisan di media, bahwa dugaan jual beli jabatan dan jual beli proyek sudah jadi rahasia umum di Pemalang. Melalui berbagai cara itu, diharapkan Pemalang bersih dari perilaku semacam itu.
"Kami ingatkan bupati dan pejabat lain untuk tidak begitu. Tapi bukannya kapok malah menjadi-jadi.
Dengan adanya kasus ini, kami masyarakat Pemalang malu. Ini baru ada sejarahnya pemimpin di Pemalang ditangkap KPK. Pemalang ini kan masuk dalam daerah dengan kemiskinan ekstrem, sudah miskin ekstrem, dikorupsi, repot," ujarnya, Selasa (16/8/2022).
Kundhi mengaku sudah mencium gelagat adanya korupsi sejak akan adanya mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Pemalang sekitar tiga bulan setelah pelantikan bupati-wakil bupati terpilih.
Saat itu bupati langsung membuka seleksi rotasi jabatan dan membuat pansel melalui Badan Kepegawaian Daerah (BKD).
"Info yang kami dapatkan, ada orang-orang di lingkaran bupati yang melakukan upaya transaksional dalam upaya mutasi jabatan itu. Kami sudah mengingatkan itu, ini benar-benar nyata. kami yakin, tapi tapi kami belum punya bukti transaksi atau apa. Sampai tingkat kepala sekolah bahkan juga ada. Saya juga dilapori oleh masyarakat," jelasnya.
Kundhi pun mengapresiasi langkah KPK mengungkap kasus jual beli jabatan di Pemalang. Namun dia berharap tidak berhenti sampai di bupati dan lima orang lain yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. KPK harus mengusut pihak-pihak lain yang diduga terlibat dan juga dugaan jual beli proyek.
"Ke depan kami akan mengawal terus proses hukum yang dilakukan KPK, mengawal supaya tidak berhenti pada kasus jual beli jabatan saja. kami juga mendorong APH (aparat penegak hukum) lain untuk menelisik, menelusuri, menangani dugaan korupsi lainnya. Kami juga akan mengawal wabup saat ini yang jadi bupati agar ke depan tidak terulang kejadian seperti ini," kata dia.
Kontributor : F Firdaus