Tangis Ibu Korban Pecah Pada Sidang Pembunuhan Siswa SMP di Grabag, IA Dihukum 8 Tahun Penjara

Rencana pembunuhan dibuktikan dengan upaya terpidana menyimpan senjata tajam di lokasi pembunuhan.

Ronald Seger Prabowo
Selasa, 06 September 2022 | 17:14 WIB
Tangis Ibu Korban Pecah Pada Sidang Pembunuhan Siswa SMP di Grabag, IA Dihukum 8 Tahun Penjara
Sidang kasus pembunuhan bocah SMP di Kecamatan Grabag, Magelang, Selasa (6/9/2022). [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

SuaraJawaTengah.id - Pengadilan Negeri Mungkid Kelas 1B memvonis IA, bocah terdakwa kasus pembunuhan siswa SMP di Grabag dengan hukuman 8 tahun penjara.

Majelis hakim yang diketuai Fakrudin Said Ngaji menilai, terdakwa terbukti melakukan pembunuhan berencana.

Rencana pembunuhan dibuktikan dengan upaya terpidana menyimpan senjata tajam di lokasi pembunuhan.

“Menjatuhkan pidana atas anak dengan pindana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Kutoarjo selama 8 tahun,”  kata Fakrudin Said Ngaji, Selasa (6/9/2022).

Baca Juga:Hasil Uji Kebohongan Bharada E, Brigadir RR dan Kuat Maruf: Jujur

Dalam kronologi kejadian yang dibacakan Hakim Anggota, Alfian Wahyu Pratama, penyebab pembunuhan karena terpidana sakit hati. Dia diejek teman-temannya karena ketahuan mencuri telepon genggam milik korban.

“Kasus pencurian menyebabkan dia (terpidana IA) menjadi bahan ejekan teman-teman di sekolah. Serta diminta mengantikan HP korban yang hilang,” kata Alfian Wahyu Pratama.

Terpidana kemudian berencana menganiaya korban di kebun kopi di sekitar jalan Grabag-Cokro. Terpidana mengawali rencananya dengan menyimpan arit di lokasi tersebut.

Pada tanggal 4 Agustus 2022, sekira pukul 17.00 WIB terpidana menjemput korban di rumahnya di Dusun Baleagung, Desa Baleagung, Grabag. Terpidana mengajak korban keluar rumah untuk mencetak tugas sekolah.

Di tengah jalan IA membelokkan motor ke arah kebun kopi dengan alasan mencari jalan pintas. Setiba di lokasi, korban diminta turun karena motor terhalang kayu.

Baca Juga:Putri Candrawathi Disebut Lakukan Penggeseran Opini Publik: Agar Disebut sebagai Korban

Kedua kemudian terlibat cekcok mulut. Terpidana mengaku tidak terima harus mengganti telepon genggam milik korban. “Aku ora trimo karo kowe. Aku ora trimo mergo dikon nggenteni HP kowe (saya tidak terima. Saya tidak terima disuruh menggantikan HP kamu),” kata terpidana IA saat cekcok dengan korban.

Terpidana memukul yang kemudian dibalas oleh korban. Emosi IA memuncak sehingga dia mengambil arit yang sudah disimpan di lokasi itu.

IA membacok korban berkali-kali yang menyebabkan sejumlah luka di lengan kiri. Terpidana kemudian memukul kepala korban menggunakan batang pohon kopi hingga tewas.

Putusan hakim juga mempertimbangkan kondisi psikis terpidana yang dinilai tidak cakap dalam membendung emosi. Gangguan psikis terpidana memicu dendam kesumat dan amarah yang ditujukan terhadap korban.

Terpidana dinilai tidak cakap mengungapkan pendapat di muka umum, sehingga cenderung pendiam dan pendendam. Terpidana memilih membunuh korban sebagai jalan keluar mengatasi masalahnya.

“Anak mencoba meluapkan emosi namun anak tidak mengerti dan tidak memahami bagaimana menyalurkannya. Ini yang menyebabkan anak lebih sensitif dan mudah tersingguang. Tidak cakap dalam komunikasi.”

Selain kondisi psikis yang menjadi faktor internal pemicu pembunuhan, terpidana juga terinspirasi video tawuran dan film-film yang mengandung unsur kekerasan.  

Terpidana sering menonton film tawuran yang memantik kemarahan. “Film tentang tawuran atau berbau kekerasan, telah menyampaikan pesan tersembunyi kepada anak untuk menyelesaikan segala sesuatunya menggunakan kekerasan,” ujar Hakim Anggota, Alfian Wahyu Pratama.

Ibu korban menahan isak tangis sepanjang pembacaan vonis. Duduk di baris kursi kedua ruang sidang PN Mungkid, ibu korban sesekali menyeka matanya yang basah oleh air mata.

Setelah Ketua Majelis Hakim, Fakrudin Said Ngaji mengetuk palu sidang sebagai tanda akhir pembacaan vonis, ibu korban berdiri dan menyatakan keberatan.

“Saya mengajukan banding. Saya tidak terima anak saya diperlakukan seperti itu,” kata ibu korban.

Kepala Desa Baleagung, Muhammad Sholikin mewakili keluarga korban mengaku kecewa atas putusan hakim. Menurut dia, vonis terhadap terpidana IA seharusnya hukuman maksimal 10 tahun penjara.

“Masih mengecewakan (vonis terhadap IA). Harapan kami hukum yang diterapkan hukuman maksimal. Artinya untuk undang-undang itu sampai 10 tahun,” kata Muhammad Sholikin.  

Sesuai UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, hukuman maksimal untuk anak yang terlibat hukum adalah separo dari hukuman orang dewasa. Anak juga tidak bisa dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup.

Sehingga ancaman hukuman penjara maksimal untuk anak yang terlibat kasus pembunuhan adalah 10 tahun penjara. Terpidana IA tidak dijatuhi hukuman maksimal melainkan 8 tahun penjara karena dianggap menunjukkan rasa menyesal dalam persidangan.

Terpidana dipastikan akan menghabiskan sisa masa anak-anaknya di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Kutoarjo. Di bekas bangunan tahanan perang milik Belanda ini, IA (15 tahun) memiliki kesempatan untuk memperbaiki prilaku dan kondisi psikologisnya.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini