SuaraJawaTengah.id - Jauh sebelum agama-agama samawi masuk ke Nusantara, mayoritas warga lereng Gunung Merapi dan Merbabu sudah menganut kepercayaan Kapitayan.
Melalui kepercayaan Kapitayan, warga lereng Merapi meyakini Tuhan Esa yang sifat, bentuk, serta keberadaanya tidak dapat dijelaskan menggunakan panca indera.
Sang Hyang Taya -sosok Tuhan menurut ajaran Kapitayan- berada dalam posisi suwung. Hampa.
Zat Tuhan tidak bisa dilihat oleh mata, namun eksistensinya diyakini sebagai sumber kekuatan absolut.
Baca Juga:Seringkali Diabaikan, Berikut 3 Tips Mengurangi Munculnya Perut Buncit
“Sejak nenek moyang kami itu sudah memiliki kepercayaan. Tata cara memahami ketuhanan, bermasyarakat, serta tata cara sosial dengan alam,” kata Kikis Wantoro, tokoh penghayat kepercayaan Pahoman Sejati.
Kikis adalah generasi penerus penghayat kepercayaan Pahoman Sejati di Dusun Wonogiri Kidul, Desa Kapuhan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Ki Rekso Jiwo, ayah Kikis Wantoro, didapuk sebagai sesepuh sekaligus pemimpin penghayat kepercayaan Pahoman Sejati.
Menurut Kikis, penghayat kepercayaan Pahoman Sejati, mengakar pada agama Kapitayan yang ajarannya disebarkan oleh Ki Hajar Windusana.
“Kurang tahu tepatnya kapan. Tapi ada cerita tutur tinular bahwa simbah-simbah dulu itu belajar dari Ki Hajar Windusana. Petilasannya ada di Dusun Windusabrang, Desa Wonolelo.”
Baca Juga:CEK FAKTA: Gempar Penampakan UFO Terbang di Atas Gunung Merapi, Benarkah?
Ki Hajar Windusana yang diperkirakan hidup pada abad 18, sempat menuliskan isi ajaran Kapitayan pada ratusan lembar serat lontar.
Kitab yang ditulis menggunakan aksara Budo itu disimpannya di perpusatakaan di Dusun Windusabrang.
Belanda menjarah serat-serat lontar milik Ki Hajar Windusana saat menjajah Nusantara. Sebagian serat lontar dikirim ke perpustakaan Belanda di Batavia, Bataviaas Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Sekarang serat lontar beraksara Budo itu sebagian tersimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta, Bibliotheque Nationale di Paris serta British Museum.
“Beliau (Ki Hajar Windusana) mengajarkan hidup itu bagiamana, mengapa, dan oleh siapa kita dihidupkan. Dunia itu sebenarnya bagaimana. Awal mulanya dari situ terus berkembang.”
Dalam posisi Tuhan yang hampa, ajaran Kapitayan menempatkan sang pencipta sebagai zat yang bebas dari nilai-nilai manusia. Tuhan memiliki konsep yang jauh dari konsep manusia.
Kapitayan misalnya tidak meyakini adanya surga dan neraka sebagai konsep akhir dari buah keimanan seseorang di dunia.
Tuhan dalam konsep Kapitayan tidak pernah menghakimi manusia. Sebagai sang Maha Pengasih, Tuhan tidak bertugas menyiksa manusia.
Semua yang terjadi pada manusia adalah buah dari perbuatan manusia sendiri. Pahoman Sejati memiliki prinsip hidup: sopo gawe nganggo, sopo nandur ngunduh.
Merdeka Memilih Keyakinan
Para penganut Pahoman Sejati diberi kemerdekaan untuk memilih jalan hidup. Termasuk soal pilihan pindah mengikuti ajaran agama yang dianut oleh masyarakat kebanyakan.
“Kelompok kami (jumlahnya) semakin surut karena masuknya agama-agama (samawi). Tapi orang Kapitayan cenderung fair. Nggak ada istilah kalau kamu tidak melestarikan naluri leluhurmu akan jadi begini-begini.”
Total jumlah penghayat kepercayaan Pahoman Sejati saat ini hanya sekitar 70 orang. Di Dusun Wonogiri Kidul, Desa Kapuhan, jumlah mereka hanya tinggal 50 orang.
Kebanyakan penganut Pahoman Sejati pindah memeluk agama lain karena pernikahan. Tidak ada paksaan bagi penganut Kapitayan untuk mempertahankan ajaran agamanya.
“Jadi dimerdekakan hati dan pikirnya. Makanya bebas (memilih keyakinan). Jika masih memegang jati diri (ajaran) nenek moyang Pahoman Sejati itu karena pilihan. Bukan ancaman. Komitmen sebagai pegangan pribadi saja,” ujar Kikis.
Menjaga Alam Memelihara Kerukunan
Naluri menjaga kerukunan masyarakat, dipegang kuat oleh warga Pahoman Sejati. Keyakinan itu lebih besar dibanding sekadar mempertahankan jati diri keagamaan.
Hidup selaras dengan manusia dan alam bagi warga Pahoman Sejati jauh lebih utama.
“Mereka itu kan kelompok orang yang berdoa. Tidak bersinggungan dengan agama lain. Bisa saling menghargai,” kata Kepala Desa Kapuhan, Joko Winarno.
Hal yang paling kuat dirasakan Joko Winarno dari warga Pahoman Sejati adalah keyakinan mereka untuk menyatu dengan alam.
Warga Pahoman Sejati meyakini, hidup selaras dengan alam menjadi bagian dari “karma” baik yang akan menentukan kualitas kehidupan seseorang.
“Mereka ini (Pahoman Sejati) sangat menyatu dengan alam. Ada pohon besar ibaratnya disangkrahi (dirawat). Sekarang siapa yang mau merawat sumber alam secara sukarela. Kan beliau-beliau (penghayat kepercayaan). Tidak merusak alam.”
Soal jumlah mereka yang terus menyusut, penerus Pahoman Sejati, Kikis Wantoro memiliki jawaban yang menggelitik.
Menurut Kikis tidak ada keuntungan apapun bagi dirinya sebagai manusia jika berhasil menambah jumlah warga Pahoman Sejati.
Begitu juga tidak ada sedikitpun kerugian baginya sebagai manusia jika dianggap gagal mencegah ajaran Pahoman Sejati punah karena tidak lagi dianut oleh orang-orang.
“Tidak ada keuntungan dan kerugian apapun bagi saya. Tanggung jawab saya hanya menjalani hidup sesuai ajaran ini. Selebihnya bukan wewenang saya untuk menentukan,” kata Kikis.
Kontributor : Angga Haksoro Ardi