Diceritakan Gus Lukman, sehari-harinya Kyai Sholeh Darat banyak menulis kitab. Meski dilarang kolonial Belanda, Kyai Sholeh Darat menyiasatinya dengan menggunakan huruf arab pegon.
"Huruf arab pegon itu tulisan yang menggunakan huruf arab tapi bahasanya menggunakan bahasa Jawa. Mbah Sholeh ingin santri-santrinya yang tidak sekolah paham tafsiran Al-Quran," bebernya.
Pertemuan dengan RA Kartini
Sebelum Kyai Sholeh Darat bertemu pertama kali dengan tokoh emansipasi wanita RA Kartini di Masjid Agung Demak. Menurut pendapat Gus Lukman, keduanya mungkin sudah mengenal sejak kecil. Sebab mereka sama-sama lahir dan besar di Jepara.
Baca Juga:Kawasan TPA Jatibarang Semarang Kembali Terbakar, Lokasi Berada di Zona 3
Lalu Kartini ternyata tertarik dengan kitab-kitab yang ditulis Kyai Sholeh Darat. Karena tidak mengerti, Kartini pun meminta secara khusus pada Kyai Sholeh Darat untuk menerjemahkan ke bahasa Jawa.
Setelah pertemuan itu, Kartini meminta izin pada keluarga untuk dibuatkan waktu khusus untuk bertemu dan belajar agama dengan Kyai Sholeh Darat secara khusus.
Kata Gus Lukman, Kartini juga sesekali menyambangi Ponpes Darat dan tidak menetap. Karena ponpes hanya diperuntukkan untuk santri laki-laki.
"Kartini ini sebenarnya santriwati, isu-isu liar Kartini abangan kok kurang pas. Mbah Sholeh ngasih hadiah pernikahan berupa kitab dan itu tulisan arab. Andaikan Kartini abangan saya yakin dia nggak bisa baca," tuturnya.
Dipindahkan ke Bergota
Baca Juga:Cegah Kasus Bullying, Wali Kota Semarang Minta Sekolah Perbanyak Kegiatan Positif untuk Siswa
Makam Kyai Sholeh Darat di kompleks pemakaman umum bergota masih ramai dikunjungi peziarah. Bahkan makam mahasantri nusantara iti sudah direvitalisasi oleh Pemeritah Kota Semarang.