"Sebanyak 15 masuk RS Roemani, 1 RS Tlogorejo, 1 RS Pandanaran, 1 RS Kariadi. Mahasiswa Undip kena tembak peluru gas air mata dijahit hidungnya," katanya saat ditemui SuaraJawaTengah.id sesuai aksi.
Meski rapat paripurna DPRI RI yang rencana digelar hari ini ditunda, pihaknya akan terus mengawal putusan MK.
Komite Aksi Kamisan Semarang Iqbal Almak mengutuk penggunaan gas air mata yang membuat massa aksi dilarikan ke rumah sakit.
Dia mengatakan gas air mata selalu memakan korban, tetapi tetap digunakan oleh aparat dalam menghadapi demonstran.
Baca Juga:Pakaian Bekas Impor Gagal Masuk ke Semarang, Bea Cukai Amankan 12 Kontainer
"Jumlah korban kemungkinan akan terus bertambah karena pihaknya belum bisa mendeteksi keberadaan korban," tutur Iqbal.
Berikut merupakan 4 tuntutan massa aksi:
1. Mendesak DPR RI untuk tidak mengesahkan RUU Pilkada, jika disahkan maka pihaknya akan memboikot Pilkada.
2. Mendesak KPU RI untuk mematuhi putusan MK nomor 60 dan 70.
3. Menolak segala bentuk nepotisme dan politik dinasti dalam negara demokrasi.
4. Menuntut pejabat negara untuk tidak menciderai marwah hukum dan melakukan pembangkangan konstitusi demi kepentingan golongan tertentu.
Skema Menyegel Gedung Dewan yang Gagal
Kuasa Hukum Massa Aksi Arif Syamsudin mengatakan pihaknya sebetulnya berencana untuk menyegel gedung DPRD Jateng secara simbolis. Aksi itu sebagai bentuk cerminan bahwa hati anggota DPR telah mati dan tidak memiliki keberpihakan kepada rakyat.
Baca Juga:CPNS Kota Semarang Dibuka! 331 Formasi Tersedia, Cek Syarat dan Jadwalnya!
"Kami juga berencana mengadakan sidang rakyat di situ," katanya melalui sambungan telepon.
Dia mengatakan aksi unjuk rasa awalnya berlangsung damai. Mahasiswa masuk ke halaman gedung dengan cara berjalan jongkok.
"Namun, kemudian ada satu orang yang diciduk polisi. Kericuhan akhirnya pecah. Sekarang kami masih mencoba mencari tahu kondisinya," ujar Arif.
Sementara itu, Rektor Soegijapranata Catholic University Dr. Ferdinandus Hindiarto meyebut bahwa aksi ini muncul karena negara tidak patuh terhadap konstitusi.
Dia mengecam sikap negara yang tidak mematuhi konstitusi demi tujuan melanggengkan kekuasaan oligarki.
Lebih lanjut, Dr. Ferdinand menegaskan bahwa negara harus tunduk kepada konstitusi. Semua kebijakan dan peraturan perundang-undangan harus berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.