SuaraJawaTengah.id - Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2024 seolah menjadi pertarungan yang tak berimbang jika dilihat dari partai pendukung di belakang kedua pasangan calon yang telah mendaftar ke KPU.
Ahmad Luthfi dan Taj Yasin Maimoen didukung sebanyak 15 partai politik diantaranya Gerindra, Golkar, PKB, PKS, Demokrat, PPP, PAN, Nasdem, PSI, PBB, Partai Buruh, Perindo, Prima, Garuda, dan Gelora. Di lain sisi, Andika Perkasa dan Hendrar Prihadi atau Hendi hanya diusung oleh PDI Perjuangan.
Andika-Hendi juga bisa dibilang kalah start. Pasangan ini baru dimunculkan jelang pembukaan pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah, sementara lawannya telah memulai gerakan sejak tiga bulan yang lalu.
Hasilnya, pasangan Luthfi-Taj Yasin terbukti unggul secara elektabilitas. Dalam survei yang dilakukan Kanigoro Network, elektabilitas Luthfi-Taj Yasin mencapai 45,2%, sedangan Andika-Hendi memperoleh 37,7%. Sementara itu, 17,1% sisanya belum menentukan pilihan.
Baca Juga:Kanigoro Network: Ahmad Luthfi-Taj Yasin Diprediksi Menangi Pilgub Jateng, Ini Perolehan Suaranya
Survei itu dilakukan pada 1-6 September 2024 di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Metodologi survei yang digunakan yaitu tatap muka dengan teknik simple random sampling dan proporsional yang melibatkan 1.600 responsden.
Masih menurut survei tersebut, Elektabilitas Andika-Hendi hanya unggul di kalangan pemilih gen Z dan milenial mencapai 56,2%, sementara Luthfi-Taj Yasin sebesar 43,8%.
Pengamat Politik UIN Walisongo Semarang, M. Kholidul Adib mengatakan, kebanyakan gen z masih menjadi pelajar-mahasiswa dan ada yang baru membangun rumah tangga serta memulai mencari pekerjaan.
Menurutnya, generasi ini juga diwakili oleh kalangan mahasiswa yang kemarin demonstrasi mengkirik cawe-cawe Presiden Jokowi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan generasi milenial sekarang berusia 31 - 43 tahun yang rata-rata sudah menikah dan mulai mapan dalam bekerja atau minimal sudah tidak terlalu bergejolak batinnya dan lebih matang dengan segala bentuk realitas yang dihadapi.
Baca Juga:Koalisi Besar Bersatu, 15 Parpol Siap Gerakkan Mesin Pemenangan Luthfi-Taj Yasin di Pilgub Jateng
Menurutnya, sebagian besar kedua generasi ini mengalami gejolak batin dan sampai pada level kecemasan tinggi terhadap masa depan.
"Muncul rasa kecewa kepada pemerintah Jokowi yang dinilai belum bisa menyejahterakan mereka dan belum dapat menjamin adanya lapangan kerja atau jaminan masa depan hidup mereka yang lebih baik setelah pandemi Covid-19," katanya saat dihubungi SuaraJawaTengah.id, Rabu (11/9/2024).
Adib berpandangan generasi milenial dan zilenial melihat sosok Andika-Hendi sebagai pihak di luar Jokowi sehingga menjadi tempat menaruh harapan agar mereka dapat memberikan solusi atas persoalan yang mereka hadapi.
"Pasangan Luthfi - Taj Yasin harus mampu menjawab kegelisahan generasi milenial dan zilenial agar dapat dukungan dari mereka," imbuhnya.
Kekuatan Parpol dan Kekuatan Figur
Adib menjelaskan ada banyak faktor yang menjadi preferensi politik masyarakat. Menurutnya, antara figur kandidat dan kekuatan parpol sama-sama sebagai faktor yang menentukan, selain faktor ideologi, tokoh, visi-misi, program hingga iming-iming dari calon atau tim sukses.
"Kalau ditanya antara figur dan kekuatan parpol tentu lebih dominan figur karena pilkada itu menjual figur, kekuatan parpol sebagai pendukung," jelas Direktur Perkumpulan Research for Politics, Social Behavioral and Humanities (REKSOBHUMI) Jawa Tengah itu.
Dikatakannya, dalam diri seorang kandidat, rakyat akan dapat melihat langsung sosok yang akan dipilih. Rakyat dapat melihat langsung karakternya, etikanya, intelektualitasnya, visi-misi dan programnya.
"Sementara ini, figur Pak Ahmad Luthfi masih lebih populer karena beliau sudah lama memperkenalkan diri kepada masyarakat Jawa Tengah, apalagi beliau pernah menjadi kapolda Jateng, sedangkan Pak Andika baru akhir-akhir ini masuk ke Jawa Tengah," katanya.
Jawa Tengah Miniatur Indonesia
Pengamat Politik Undip Semarang, Teguh Yuwono mengatakan, pandangan Jawa Tengah sebagai miniatur Indonesia telah lama terbentuk. Hal ini juga dikaitkan dengan kesamaan antara Pilkada Jateng dan Pilpres.
Pada Pilgub Jateng 2018 sosok Ganjar Pranowo (nasionalis) berpasangan Taj Yasin Maimoen (religius) memenangkan kontestasi. Hal tersebut diikuti dengan kemenangan Joko Widodo (nasionalis) dan Ma'ruf Amin (religius) di Pilpres 2019.
Jika melihat hasil Pilpres 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sama-sama dari kalangan nasionalis, sementara KIM Plus menyodorkan pasangan nasionalis-religius di Pilgub Jateng. Kesamaan polanya sebetulnya ada di pasangan Andika-Hendi yang sama-sama nasionalis.
"Pemilih di Jawa Tengah hari ini masih sama dari kalangan santri, abangan, priyai. Dulu gabungan kekuatan nasionalis-religius bisa menang, tetapi pertanyanya sekarang gabungan kekuatan itu, apakah masih efektif atau tidak?" katanya.
Menurutnya, hasil survei yang akhir-akhir ini muncul belum bisa dijadikan gambaran siapa yang akan memenangkan pemilihan pada 27 November mendatang.
Dianamikan naik turunya elektabilitas paslon wajar terjadi karena hanya merupakan potret saat survei dilakukan. Yang paling akurat adalah jika survei dilaksanakan pada H-7 atau H-3 sebelum hari pemungutan suara.
"Dinamika naik turun, siapa hari menang, siapa yang kalah, itu tidak bisa dijadikan indikator," tegasnya dekan Fisip Undip itu.
Menguji Pilihan Mayoritas Elite Parpol
Menurut Teguh, Pilkada Jateng 2024 adalah momen menguji pilihan mayoritas elite parpol. Luthfi-Yasin yang dijagokan 15 parpol apakah akan memenangkan hati rakyat Jawa Tengah atau justru sebaliknya.
"Apakah pandangan politik elite sama dengan pandangan masyarakat? Hari ini kan PDIP hanya sendirian ya, tetapi massa mungkin berbeda. Ini juga untuk menguji pandangan elite parpol," ujarnya.
Kondisi PDI Perjuangan yang sendirian di Pilgub Jateng sebetulnya bukan kali ini saja terjadi. Pada Pilgub Jateng 2013, PDIP juga sendiri mengusung pasangan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko dan berhasil keluar sebagai pemenang.
"Jawa Tengah yang selama ini dikenal sebagai kandang banteng akan diuji kembali dan benar-benar diuji," tandasnya.
Dalam setiap pemilihan, kata dia, kuncinya adalah di rakyat karena pilkada merupakan politik massa, bukan politik elite. Rakyat tidak terlalu peduli parpol pengusung maupun tim suksesnya, tetapi lebih fokus ke figur calon.
"Pilkada itu politik massa, bukan politik elite. Siapa pun menu yang disediakan oleh partai politik, ia akan kembali kepada rakyat sebagai pemilih. Demokrasi itu suara rakyat, bukan partai politik," ujarnya.
Kontributor : Sigit Aulia Firdaus