SuaraJawaTengah.id - Sidang perdana kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, atau yang akrab disapa Mbak Ita, mulai bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 21 April lalu.
Sebagai tokoh publik dengan rekam jejak birokrasi panjang, keterlibatan Mbak Ita dalam pusaran hukum ini tentu menyedot perhatian, bukan hanya warga Semarang tetapi juga publik nasional.
Namun, di balik pembacaan dakwaan dan proses hukum yang tengah berjalan, sorotan tajam juga mengarah pada bagaimana komunikasi hukum disampaikan kepada masyarakat, khususnya melalui media.
Pernyataan penasehat hukum terdakwa yang mengindikasikan bahwa seorang saksi utama patut diseret sebagai tersangka, sontak menuai tanggapan.
Baca Juga:Haru Biru Natal di Semarang: Mbak Ita Pamitan di Keuskupan Agung
Praktisi hukum senior sekaligus advokat Kota Semarang, Sujiarno Broto Aji SH MH, menyayangkan sikap rekan seprofesinya itu. Menurutnya, narasi yang dibangun terlalu dini dan berisiko membentuk opini publik yang menyimpang dari asas praduga tak bersalah.
“Sidang baru sampai tahap pembacaan surat dakwaan, belum ada pemeriksaan saksi, apalagi fakta hukum yang terungkap di persidangan. Maka, menyatakan bahwa seorang saksi layak dijadikan tersangka adalah bentuk komunikasi yang prematur,” tegas Aji, pemilik kantor hukum AJI and PARTNERS dikutip dari keterangan tertulis pada Sabtu (26/4/2025).
Ia menambahkan, sebagai sesama praktisi hukum, dirinya memahami bahwa ada strategi komunikasi yang digunakan untuk membentuk persepsi publik.
Namun, jika strategi itu justru menjadi psywar yang menjatuhkan kredibilitas saksi utama bahkan sebelum kesaksiannya disampaikan di pengadilan, hal ini dapat dianggap sebagai tindakan kontra-produktif yang melenceng dari etika profesional.
Komunikasi hukum sejatinya memiliki ruang dan batas. Ketika komunikasi tersebut disampaikan melalui media massa, maka ia tak hanya menjadi bagian dari strategi litigasi, melainkan turut memengaruhi persepsi sosial.
Baca Juga:Sekdes Kaliwinasuh Banjarnegara Bebas dari Tuduhan Korupsi, Jaksa Ajukan Kasasi
Pernyataan yang berpotensi merusak nama baik orang lain, apalagi yang belum tentu terlibat secara hukum, bisa menjadi bumerang—baik secara etis maupun secara yuridis.
Lebih lanjut, Aji menyoroti bahwa pernyataan tersebut berpotensi menggiring opini publik, seolah ada “kambing hitam” yang harus ikut bertanggung jawab. Padahal, secara sistem birokrasi, posisi wali kota sebagai pemegang kendali tertinggi memiliki wewenang penuh terhadap setiap keputusan administratif.
"Aparatur di bawah, sejatinya hanya menjalankan perintah atasan. Dalam struktur birokrasi, ketundukan pada pimpinan adalah keniscayaan, bahkan meski perintah itu sejak awal mengandung potensi pelanggaran hukum," ujarnya.
Fenomena ancaman mutasi, pencopotan jabatan, atau tekanan struktural kerap menjadi alasan mengapa bawahan memilih patuh, walau harus menanggung risiko hukum di kemudian hari.
Dalam konteks ini, Aji percaya bahwa KPK akan tetap fokus pada pihak-pihak yang secara hukum memiliki tanggung jawab utama. Ia juga menegaskan bahwa saat ini sudah ada dua terdakwa lain dalam perkara yang sama, yakni Martono dan Rahmat Utama Djangkar.
![Praktisi hukum sekaligus advokat Kota Semarang Sujiarno Broto Aji SH MH. [Istimewa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/04/26/64086-kasus-mbak-ita.jpg)
Aji pun memberi catatan penting bagi kuasa hukum terdakwa untuk lebih berhati-hati dalam membangun narasi di luar pengadilan. Dalam perkara korupsi yang mencoreng nama baik institusi pemerintahan dan menyita perhatian masyarakat luas, konsistensi dalam menjunjung asas presumption of innocence menjadi sangat krusial. Alih-alih menuding pihak lain tanpa dasar, sebaiknya fokus diarahkan pada pembelaan objektif dan profesional terhadap klien.