Menurut Anggota Dewan Ruang Inisiatif Toba, Masro Delima Silalahi, sarasehan pada Festival Tridaya Mandala Borobudur, menjadi ajang membangun jaringan warga sesama korban proyek pariwisata prioritas nasional.
Pelaksanaan proyek ‘Bali Baru’ maupun Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) tidak semulus yang dibayangkan masyarakat. Di Danau Toba misalnya, pembangunan infrastruktur pariwisata secara besar-besaran mengesampingkan kepentingan komunitas lokal.
Alih fungsi lahan, konflik kepemilikan tanah, serta meruncingnya persaingan antar pengelola wisata, mengancam kearifan lokal warga Toba.
“Kami dulu membayangkan ini akan memberi dampak baik bagi masyarakat Batak. Kami terhipnotis ilusi ‘Bali Baru’. Pengalaman kami menjadi pembelajaran bagi semuanya. Khususnya Borobudur. Karena konsep (pariwisata)-nya sama,” kata Delima.
Baca Juga:Polemik Tolak Rencana Kremasi Murdaya Poo di Borobudur
Konsep pariwisata yang “lapar” lahan terjadi di semua kawasan proyek KSPN. Di Danau Toba misalnya, penetapan batas sempadan sungai hingga 100 meter menjadikan tepi danau sebagai kawasan yang dilindungi.
Padahal daratan di sekeliling Danau Toba tersebar permukiman penduduk, areal kebun, dan lahan penggembalaan ternak. Aturan pariwisata ini mengancam wilayah parhutaan (permukiman) yang telah ditetapkan oleh komunitas adat.
Paradigma Pariwisata Terpusat
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB, Amri Nuryadin mengatakan, Program ‘Bali Baru’ yang menyeragamkan paradigma pariwisata, mengancam punahnya unsur budaya lokal.
Menurut Amri, pariwisata yang sentralis hanya mengedepankan kepentingan investor dan mengabaikan pengelolaan wisata berbasis masyarakat.
Baca Juga:Perjalanan Terakhir Murdaya Poo: Dikremasi Secara Tradisional di Pelataran Borobudur
“Kami di Lombok ada problem. Menyeragamkan (wisata) menjadi satu konsep, satu proyek, dan satu program strategis nasional dengan istilah ‘Bali Baru’, itu menjadi keresahan kita di masing-masing daerah.”
Persaingan tidak sehat antar pelaku jasa operator pariwisata di tiga Gili: Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air, mulai mengarah pada konflik warga. Dulu wisata ditempat ini dikelola oleh komunitas-komunitas warga.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi para pengkritisi proyek Bali Baru maupun KSPN adalah glorifikasi, bahwa program ini memberikan akan memberikan keuntungan besar bagi masyarakat.
Sikap kritis terhadap proyek pariwisata ini sering dianggap sebagai anti pembangunan daerah. Melawan kebijakan yang populis.
Pariwisata Berkeadilan
Dwias Panghegar, pegiat budaya Desa Wringinputih, Borobudur menekankan pentingnya mengelola wisata berkeadilan. Sehingga keuntungan dari bisnis pariwisata tidak hanya dinikmati oleh segelitir orang.