Sega Jagung dan Politik Pangan: Saat Sesuap Nasi Bukan Lagi Raja di Meja Makan

Sejarah politik pangan menjadikan nasi sebagai raja meja makan di Indonesia. Namun, kisah pembuat sega jagung di Magelang ini membuktikan bahwa ketahanan pangan tak harus nasi

Budi Arista Romadhoni
Minggu, 20 Juli 2025 | 19:55 WIB
Sega Jagung dan Politik Pangan: Saat Sesuap Nasi Bukan Lagi Raja di Meja Makan
Ilustrasi hidangan nasi jagung sebagai asupan alternatif karbohidrat pengganti nasi. [ChatGPT]

SuaraJawaTengah.id - Dominasi padi yang dikembangkan secara monokultur selama ratusan tahun telah mengubah budaya di meja makan kita hari ini. Sebuah kebijakan yang menanamkan 'mitos' bahwa nasi adalah satu-satunya sumber pangan orang Nusantara.

Sejak kecil, kita dijejali pengetahuan—yang seolah tak terbantahkan—bahwa mayoritas masyarakat Indonesia hidup dari mencangkul sawah. Padi menjadi satu-satunya komoditas yang ditanam secara masif, dan mungkin hingga saat ini.

Swasembada beras selalu dianggap sebagai capaian tertinggi pembangunan nasional. Paling tidak, begitulah narasi yang digaungkan laporan Dunia Dalam Berita di TVRI pada era 1980-an.

Dominasi Nasi dan Politik Pangan Orde Baru

Baca Juga:Lulusan Baru Merapat! Bursa Kerja Magelang 2025 Tawarkan Peluang Emas dari Perusahaan Top

Ilustrasi karbohidrat dari beras dan Jagung. [Freepik]
Ilustrasi karbohidrat dari beras dan Jagung. [Freepik]

Rezim Orde Baru yang menjadikan ekonomi sebagai panglima, menempatkan rasio hasil panen beras tahunan sebagai indikator utama keberhasilannya. Lahan tanam padi terus diperluas, sementara stok cadangan beras di gudang Bulog selalu dipelototi oleh banyak pihak.

Namun sesungguhnya, politik adikuasa beras sudah terbentuk jauh sebelum itu, bahkan sejak zaman Majapahit. Para pedagang dari Cina dan India disebut-sebut mengenalkan beras-nasi sebagai sumber pangan baru yang prestisius.

Perlahan tapi pasti, nasi menggusur umbi-umbian dan sagu yang sebelumnya menjadi makanan pokok. Rakyat Majapahit konon mulai menanam padi berbulir putih sejak abad ke-13.

Perubahan politik pangan ini tidak hanya berdampak besar pada ekonomi, tetapi juga mengubah perilaku konsumsi masyarakat secara fundamental. Ketika lahan tanam padi berkurang yang berakibat pada merosotnya produksi, pola makan rakyat telanjur sulit diubah.

Jumlah permintaan yang masif inilah yang menyebabkan komoditas beras sangat rentan terhadap manipulasi, mulai dari korupsi impor hingga kasus dugaan beras premium oplosan yang ramai beberapa waktu lalu.

Baca Juga:Kisah Pilu dari Ngaran Krajan: Kampung Juru Kunci Candi Borobudur yang Digusur dan Dilupakan

Hingga kini, mayoritas orang Indonesia berpendapat, belum dianggap sah makan jika belum mengunyah nasi. Padahal, tersedia banyak sumber pangan alternatif sebagai penggantinya.

Tak Harus Nasi: Alternatif Karbohidrat Lokal

Makanan sumber karbohidrat. (Shutterstock)
Makanan sumber karbohidrat. (Shutterstock)

Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah memverifikasi setidaknya enam komoditas pangan lokal yang kaya karbohidrat non-beras. Sumber pangan alternatif pengganti nasi itu adalah singkong, talas, sagu, jagung, pisang, dan kentang.

Dari sisi gizi, kandungan karbohidrat dari satu porsi nasi ukuran 100 gram, setara dengan:

  • Singkong seberat 120 gram.
  • Talas seberat 125 gram.
  • 3 bonggol jagung ukuran sedang.
  • Kentang seberat 210 gram.
  • Pisang seberat 117 gram.
  • Sagu seberat 50 gram.

Namun, mengubah pola makan tidak semudah membalik telapak tangan. Mengonsumsi nasi sudah dianggap mendarah daging, menjadi budaya yang sulit dilepaskan dari kebiasaan orang Indonesia. Padahal di masa lalu, masyarakat kita mengenal sumber pangan yang jauh lebih beragam.

Olahan jagung, singkong, dan talas dengan aneka rupa masih bisa ditemukan di pasar tradisional, meskipun jumlahnya tak lagi banyak.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini