Di Balik Gemerlap Kemerdekaan: Veteran Ini Ungkap Realita Pahit Kehidupan Pejuang yang Terlupakan

Mbah Sochib, pejuang kemerdekaan berusia 16 tahun saat melawan Jepang dan Sekutu di Semarang, kini hidup sederhana di Demak

Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 16 Agustus 2025 | 18:18 WIB
Di Balik Gemerlap Kemerdekaan: Veteran Ini Ungkap Realita Pahit Kehidupan Pejuang yang Terlupakan
Mbah Sochib, Veteran Perang Kemerdekaan RI (kanan) menceritakan perjuangan melawan Jepang dan Belanda pasca-proklamasi Kemerdekaan RI, di kediamannya di Desa Batursari, Kecamatan Mranggen, Demak, Jumat (15/8/2025). (suara.com/ Sigit AF)

SuaraJawaTengah.id - Delapan puluh tahun silam, dentuman senjata dan ledakan mortir mewarnai hari-hari seorang remaja berusia 16 tahun di Semarang. Namanya Sochib, kini seorang kakek renta yang hidup sederhana di Demak, tepatnya di Desa Batursari, Kecamatan Mranggen.

Ia adalah satu dari sedikit pejuang kemerdekaan yang masih tersisa, saksi hidup dari masa ketika Indonesia baru saja memproklamasikan diri sebagai negara merdeka.

“17 Agustus 1945 Indonesia merdeka. Baru dua bulan, ada gejolak. Tentara Jepang mengamuk di Tugu Muda. Waktu itu masyarakat tidak tahu penyebabnya apa, mungkin karena negaranya dibom atom,” kenang Mbah Sochib membuka cerita saat ditemui Suara.com, Jumat (15/08/2025).

Gejolak itu meletus pada 15 Oktober 1945. Pemuda-pemuda Semarang, bersenjata bambu runcing, pedang, hingga celurit, melawan pasukan Jepang yang masih bercokol. Pertempuran sengit tak terelakkan, menelan korban jiwa dari kedua belah pihak.

Baca Juga:Balas Dendam Manis! SDN Sendangmulyo 04 Juara MilkLife Soccer Challenge Usai Bantai Lawan 6-0

Saat itu pula kabar mencemaskan menyebar di kalangan warga: tentara Jepang disebut-sebut akan meracuni sumber air bersih.

Seorang dokter, dr. Kariadi, yang mencoba memeriksa kondisi air, justru ditembak mati oleh tentara Jepang. Nama Kariadi kemudian diabadikan menjadi nama rumah sakit terbesar di Semarang.

Namun, ancaman tak berhenti di situ. “Setelah Jepang, datang lagi tentara sekutu. Ada pasukan bernama Gorga, tentara sewaan. Mereka bikin rusuh di sini. Belanda pun masuk lagi, bonceng sekutu,” tutur Sochib.

Ketika kekuatan pemuda Semarang tak lagi mampu menahan serangan, ia bersama keluarganya mengungsi ke Demak. Namun, bapaknya tertinggal di Semarang, sementara rumahnya di kawasan Indraprasta hangus dibakar Belanda.

Dari Remaja ke Pejuang

Baca Juga:Akhir Pelarian 12 Tahun, Kejari Semarang Tangkap Adrianus Tanoto, Komplotan Sherly di Jakarta

Pada Desember 1945, di usia 16 tahun, Sochib memutuskan bergabung dengan Laskar Hizbullah Demak, bagian dari kesatuan medan tenggara di Mranggen. Ia ditugaskan di bagian perhubungan, khususnya telepon dan kode militer.

Suatu ketika, regu pengawas melaporkan pergerakan besar tentara Belanda di Pedurungan. Sochib segera melapor pada komandannya, Letnan Kolonel KH Basuni.

“Saya diminta menghubungi pasukan meriam untuk menembakkan meriam sebanyak 20 kali,” kenangnya.

Namun, Belanda membalas dengan serangan yang jauh lebih dahsyat. Malam itu, suara mortir dan tembakan senapan tak pernah berhenti.

“Saya sampai sembunyi di bak musholla. Mortir jatuh dekat saya, duar! Saya cuma bisa baca doa. Alhamdulillah selamat,” katanya lirih.

Pagi harinya, ketika pasukan di garis depan mulai mundur, Sochib tetap bertahan sesuai aturan perhubungan: tidak boleh mundur sebelum pasukan meriam ditarik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak