Nada serupa juga datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang. Ketua AJI, Aris Mulyawan, menegaskan bahwa peristiwa pembacokan terhadap Manik bukanlah insiden biasa.
“Ini tidak hanya membahayakan nyawa seorang jurnalis, tapi juga merupakan alarm bahaya bagi kebebasan pers di negeri ini,” tegas Aris.
Aris mengingatkan, bila kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis dibiarkan begitu saja tanpa penyelesaian hukum yang jelas, maka akan menimbulkan efek domino yang sangat berbahaya.
“Jika serangan seperti ini tidak ditangani serius, para pewarta bisa gentar dalam meliput isu-isu penting. Mereka bisa terintimidasi, terutama saat memberitakan hal-hal yang menyangkut kepentingan publik dan kepentingan korporasi besar,” jelasnya.
Baca Juga:Jurnalis Dipukul dan Diancam Ajudan Kapolri: Kebebasan Pers Terancam di Semarang
Sementara itu, di tengah keterbatasannya, Manik hanya bisa berkata singkat. Ia menyerahkan seluruh penanganan kasus kepada kepolisian.
“Kasus ini saya pasrahkan kepada Polri yang sudah profesional menangani perkara seperti ini,” ucapnya lirih, menahan rasa sakit.
Kasus ini bukan sekadar catatan kriminal. Lebih dari itu, ia menjadi luka bagi dunia jurnalisme Indonesia.
Seorang jurnalis, yang mestinya bisa pulang dengan selamat setelah bekerja, justru harus berhadapan dengan ancaman nyawa.
Kini publik menanti keseriusan aparat penegak hukum. Desakan IJTI dan AJI seolah mewakili suara ribuan jurnalis di seluruh Indonesia yang menuntut perlindungan. Sebab tanpa jaminan keamanan, kerja jurnalistik akan selalu dibayang-bayangi rasa takut.
Baca Juga:Tangis Warga Pecah! Gubernur Jateng Langsung Datangi Pengungsi Banjir Grobogan
Manik Priyo Prabowo hanyalah satu nama, namun kisahnya menyuarakan kepedihan yang lebih besar bahwa kebebasan pers masih terus diuji, dan bahwa keberanian seorang jurnalis kadang harus dibayar dengan darah.
Kontributor : Sigit Aulia Firdaus