-
- LEKRA lahir 17 Agustus 1950, membawa gagasan seni berpihak pada rakyat dengan semboyan revolusi.
- Prinsip “Politik adalah Panglima” dorong seniman turun ke rakyat, lahir karya sastra, teater, musik.
- Dekat dengan PKI, LEKRA runtuh pasca 1965, namun warisan “seni untuk rakyat” tetap hidup hingga kini.
SuaraJawaTengah.id - Awal kemerdekaan Indonesia bukan masa yang tenang. Bangsa baru ini masih bergulat mempertahankan kedaulatan, menghadapi krisis ekonomi, sekaligus mencari jati diri.
Dari pergolakan itulah lahir Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), organisasi seni yang kemudian dikenal luas karena gagasannya yang tegas: seni harus berpihak pada rakyat.
Namun perjalanan LEKRA tidak hanya soal karya seni, tetapi juga soal politik, konflik, dan warisan yang hingga kini masih memicu perdebatan.
Sebagaimana dikutip dari YouTube Teluk Bone, berikut adalah 5 fakta penting tentang LEKRA, hubungannya dengan PKI, dan kontroversi yang membekas dalam sejarah Indonesia.
Baca Juga:Menguak Misteri Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist, Bahan Bakar Tragedi G30S PKI
1. Lahir pada 17 Agustus 1950 dengan Makna Simbolis
LEKRA berdiri pada 17 Agustus 1950 di Jakarta, tepat pada ulang tahun kelima kemerdekaan RI. Pemilihan tanggal ini jelas sarat makna: seni dipandang sebagai bagian dari revolusi bangsa yang baru saja merdeka.
Ketua pertama LEKRA adalah AS Darta, seorang sastrawan sekaligus aktivis. Sejak awal, LEKRA menegaskan dirinya bukan hanya wadah berkarya, melainkan jembatan antara seniman dan perjuangan rakyat.
2. Prinsip dan Semboyan: Politik Adalah Panglima
LEKRA punya semboyan yang sangat dikenal: “Politik adalah panglima.” Seni, menurut mereka, tidak bisa hanya menjadi hiburan netral; seni harus punya sikap, berpihak pada rakyat kecil.
Baca Juga:Rahasia Gelap Angkatan Kelima dan Jalan Merah Menuju G30S PKI
Untuk mewujudkan prinsip itu, LEKRA mengusung konsep “Turun ke Bawah (Turbah)”: seniman diajak hidup bersama petani, buruh, dan nelayan. Dari pengalaman langsung itulah lahir karya yang otentik. Mereka juga merumuskan trisila kebudayaan yaitu Nasional, Realis dan Berpihak pada rakyat.
Dasar pemikiran ini banyak dipengaruhi realisme sosialis dari Uni Soviet dan Tiongkok, meski disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
3. Aktivitas Besar: Dari Sastra Hingga Seni Rupa
LEKRA menjadi pusat berbagai aktivitas seni.
a. Sastra: melahirkan puisi, cerpen, hingga novel bertema perjuangan rakyat.
b. Teater: menampilkan drama rakyat yang lugas, bukan sekadar simbol abstrak.
c. Musik: memperkuat lagu-lagu perjuangan yang dinyanyikan massal.
d. Seni rupa: menghadirkan mural, lukisan realis, hingga poster revolusi.
e. Film dan fotografi: merekam kehidupan rakyat agar seni benar-benar hadir di tengah mereka.
Beberapa nama besar pernah bersentuhan dengan LEKRA, seperti Pramoedya Ananta Toer, Rukiah Kertapati, dan Sobron Aidit, adik dari DN Aidit (Ketua PKI).