Jejak Panjang LEKRA: Seni Ideologi Kiri yang Lenyap Pasca Peristiwa G30S PKI

LEKRA, organisasi seni yang lahir pasca kemerdekaan, dikenal dengan prinsip "politik adalah panglima" dan keberpihakannya pada rakyat.

Budi Arista Romadhoni
Selasa, 23 September 2025 | 17:30 WIB
Jejak Panjang LEKRA: Seni Ideologi Kiri yang Lenyap Pasca Peristiwa G30S PKI
Ilustrasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) di era 1965, atau peristiwa G30S PKI. [ChatGPT]
Baca 10 detik
    • LEKRA lahir 17 Agustus 1950, membawa gagasan seni berpihak pada rakyat dengan semboyan revolusi.
    • Prinsip “Politik adalah Panglima” dorong seniman turun ke rakyat, lahir karya sastra, teater, musik.
    • Dekat dengan PKI, LEKRA runtuh pasca 1965, namun warisan “seni untuk rakyat” tetap hidup hingga kini.

4. Konflik Budaya: LEKRA vs Manikebu

Dekade 1960-an menjadi panggung pertarungan ideologi kebudayaan. LEKRA semakin dekat dengan PKI dan mendapat angin segar di masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965) karena dukungan Presiden Soekarno.

Namun muncul kelompok tandingan: Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang bertentangan dengan nilai-nilai LEKRA yakni mengedepankan humanisme universal dan kebebasan seniman.

Polemik ini menjadi salah satu konflik budaya paling terkenal di Indonesia. Tidak hanya berhenti pada perdebatan, tapi juga memengaruhi publikasi karya. Meski begitu, posisi LEKRA justru makin besar hingga menjadi organisasi kebudayaan terbesar di awal 1960-an.

Baca Juga:Menguak Misteri Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist, Bahan Bakar Tragedi G30S PKI

5. Runtuh Pasca 1965 dan Warisan Kontroversial

Tragedi politik 30 September 1965 menjadi titik balik. PKI dituduh dalang kudeta, dan LEKRA ikut terseret. Pada 1966, rezim Orde Baru melarang LEKRA. Banyak anggotanya ditangkap, dipenjara tanpa pengadilan, diasingkan ke Pulau Buru, bahkan dieksekusi.

Nama LEKRA kemudian dihapus dari buku sejarah, karya-karyanya disensor, seakan organisasi ini tak pernah ada. Baru setelah Reformasi 1998, sejarawan mulai mengkaji ulang jejaknya.

Kisah LEKRA adalah cermin betapa rumitnya hubungan antara seni, politik, dan rakyat. Ia lahir dengan semangat revolusi, tumbuh besar, terlibat dalam konflik, lalu runtuh secara tragis. Meski demikian, semangat “seni untuk rakyat” tetap hidup hingga kini, baik sebagai inspirasi maupun sebagai peringatan.

Pertanyaan besar yang ditinggalkan LEKRA pun masih relevan: Apakah seni harus netral, ataukah ia justru wajib berpihak pada rakyat? Jawabannya bergantung pada bagaimana kita memaknai seni dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga:Rahasia Gelap Angkatan Kelima dan Jalan Merah Menuju G30S PKI

Kontributor : Dinar Oktarini

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak