- Banyak kuliner khas Indonesia ternyata adaptasi resep Belanda, lalu diberi sentuhan cita rasa lokal.
- Perkedel, semur, kroket, hingga kastengel lahir dari akulturasi resep kolonial dan rempah Nusantara.
- Kini hidangan itu melebur jadi identitas kuliner nasional, bukti kuliner mampu menjembatani budaya.
5. Kroket: Camilan Goreng dengan Sentuhan Ragut
Kroket merupakan camilan berbahan daging cincang atau ragut yang dibungkus adonan kentang, dilapisi tepung panir, lalu digoreng. Di Belanda, bentuk kroket cenderung lonjong dengan isian ragut lembut.
Di Indonesia, kroket sering jadi kudapan sekolah atau suguhan hajatan, dengan isi lebih variatif: daging ayam, sapi, bahkan sayuran. Proses penggorengan yang renyah membuat kroket tetap populer sebagai camilan gurih yang mengenyangkan.
6. Spiku: Lapis Surabaya Warisan Zaman Kolonial
Baca Juga:Gaji Rp3 Juta Beli Rumah Bukan Mimpi, Ini Hitungan KPR Subsidi yang Masuk Akal!
Spiku atau lapis Surabaya juga berasal dari masa Belanda. Nama “spiku” berasal dari kata spekkoek yang berarti kue lapis legit. Versi Indonesia hadir dengan tiga lapis kuning-cokelat khas, lembut, dan manis.
Awalnya hanya dinikmati oleh kalangan Belanda, tetapi setelah kemerdekaan, spiku menyebar ke masyarakat luas. Hingga kini, kue ini menjadi ikon oleh-oleh Surabaya. Kehadirannya membuktikan bagaimana warisan kolonial bisa bertransformasi menjadi identitas lokal.
Warisan Rasa, Identitas Baru
Keenam makanan ini menunjukkan bagaimana sejarah kolonial membentuk wajah kuliner Indonesia. Resep yang dibawa Belanda mengalami adaptasi bahan, teknik, dan selera lidah Nusantara. Hasilnya, lahir makanan-makanan yang terasa “Indonesia banget”, meski akarnya dari Eropa.
Hari ini, perkedel, semur, kroket, kastengel, klapertart, hingga spiku sudah melebur dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga:Daftar Hari Penting Oktober 2025: Dari Kesaktian Pancasila, Sumpah Pemuda, hingga Hari Pangan Dunia
Mereka bukan sekadar peninggalan Belanda, tetapi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kuliner nasional. Itulah bukti bahwa kuliner mampu menjadi jembatan budaya, sekaligus pengingat bahwa dari setiap pertemuan dua dunia, selalu lahir sesuatu yang baru.
Kontributor : Dinar Oktarini