- Pemerintah Pusat mendesak Pemda Jawa Tengah mempercepat audit dan renovasi ribuan bangunan pesantren pasca tragedi di Jawa Timur.
- Peristiwa ambruknya dua pesantren di Jawa Timur menjadi alarm bagi Kemenko PM untuk mitigasi keselamatan bangunan di Jawa Tengah.
- Kendala utama percepatan terletak pada lambatnya penerbitan Perizinan Bangunan Gedung oleh pemerintah daerah setempat.
SuaraJawaTengah.id - Bayang-bayang tragedi ambruknya bangunan pondok pesantren di Jawa Timur kini menghantui Jawa Tengah.
Pemerintah pusat mengambil langkah cepat dengan 'menyentil' pemerintah daerah se-Jawa Tengah untuk segera mempercepat proses audit, renovasi, dan rekonstruksi ribuan bangunan pesantren yang tersebar di wilayahnya.
Langkah tegas ini menjadi agenda utama dalam Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) yang diinisiasi Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Kemenko PM) bersama sejumlah kementerian terkait di Jawa Tengah, Jumat (21/11/2025).
Kekhawatiran pemerintah pusat bukan tanpa alasan. Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat Kemenko PM, Abdul Haris, secara blak-blakan menyebut peristiwa tragis yang menimpa dua pondok pesantren di Jawa Timur sebagai alarm tanda bahaya.
Baca Juga:Gubernur Ahmad Luthfi Sebut Rumah Sakit Kardiologi Emirates-Indonesia Tercanggih
"Pasca peristiwa ambruknya Pondok Pesantren Al Khoziny di Kabupaten Sidoarjo, disusul Pesantren Syafi'iyah Syekh Abdul Qodir Jaelani di Kabupaten Situbondo, pemerintah bergerak cepat untuk memitigasi agar kejadian tersebut tidak berulang lagi dengan melakukan percepatan audit bangunan pesantren yang ditindaklanjuti dengan proses renovasi dan rekonstruksi berdasarkan hasil audit tersebut," ujar Haris.
Situasi di Jawa Tengah dinilai krusial. Berdasarkan data Education Management Information Systems (EMIS), provinsi ini menjadi rumah bagi 5.346 pondok pesantren, jumlah terbesar keempat secara nasional.
Di sisi lain, ironisnya, Jawa Tengah juga menempati peringkat atas dalam jumlah penduduk miskin yang mencapai 3,37 juta orang.
Kondisi ini menempatkan pesantren dalam posisi dilematis: sebagai lembaga strategis untuk pengentasan kemiskinan, namun kondisi fisiknya berpotensi tidak laik dan membahayakan.
“Berdasarkan hal tersebut, sesuai dengan fungsi strategis pesantren dalam pemberdayaan masyarakat, keberadaan pesantren tersebut perlu dioptimalkan dalam penurunan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem,” ucap Haris.
Baca Juga:Cuaca Semarang Hari Ini: Waspada Hujan Ringan, BMKG Juga Beri Peringatan Rob di Pesisir Utara
Peran Kunci Pemda yang Lamban
Sorotan utama dalam percepatan ini diarahkan pada peran pemerintah daerah (Pemda), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Menurut Haris, salah satu ganjalan utama adalah lambatnya proses kepemilikan Perizinan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) bagi pesantren.
Direktur Bina Penataan Bangunan Kementerian Pekerjaan Umum, Wahyu Kusumosusanto, menegaskan bahwa PBG dan SLF bukanlah sekadar formalitas administrasi, melainkan instrumen vital untuk menjamin keamanan dan keandalan sebuah bangunan.
"Pemerintah daerah memiliki peran strategis, dimana dengan otoritasnya dalam penerbitan PBG dan SLF, Pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan percepatan kepemilikan PBG dan SLF bagi pesantren," ujar Wahyu, menekankan bahwa kewenangan ada di tangan Pemda.
Selain perizinan, persoalan klasik seperti legalitas badan hukum yayasan dan status kepemilikan lahan juga menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan untuk kelancaran proses renovasi.