Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Rabu, 19 Juni 2019 | 08:30 WIB
Suasana Resosialisasi Argorejo atau Lokalisasi Sunan Kuning di Kota Semarang tampak lengang. [Suara.com/Adam Iyasa]

SuaraJawaTengah.id - "Takdir memang tak bisa diubah, nasib tapi masih bisa diubah."

Kata itu terucap dari bibir Eni (30), seorang wanita pekerja seks komersil (PSK) Lokalisasi Sunan Kuning. Ia memulai peruntungan hidup menjadi kupu-kupu malam di Lokalisasi Sunan Kuning Semarang sejak dua tahun lalu.

Sambil menghisap sebatang rokok, bibir Eni bercerita bagaimana dia sampai terlibat gemerlap dunia malam prostitusi. Profesi itu dipilih demi mencukupi kebutuhan dua anaknya yang masih sekolah.

"Baru dua tahun, dulu sempat di Gambilangu Kendal tapi cuma empat bulan. Ketahuan keluarga, suruh pulang (ke) Wonogiri," kata Eni, Selasa (18/6/2019).

Baca Juga: Mereka yang Mengais Rezeki dari Efek Bisnis Esek-esek Sunan Kuning

Di Gambilangu, Kendal, Eni mengakui menapakan jejak menjadi wanita pekerja seks. Kala itu, ia ditawari pekerjaan dari seorang teman yang menjadi pemandu lagu di kompleks hiburan malam tersebut. Dengan iming-iming per jam dari tempat hiburan karaoke mendapat bayaran Rp 15 ribu di Tahun 2006.

"Itu nilai yang lumayan saat itu bagi pemandu lagu karaoke," katanya.

Namun petaka terjadi, saat tengah memandu lagu di ruang karaoke Eni dibuat mabuk sang tamu hingga dibawa di sebuah kamar.

"Saya menangis, mau pulang tidak bisa karena harus membayar biaya ganti kepada mami yang cukup besar. Itu saya dibohongi sebagai pemandu lagu," ceritanya.

Selama di kawasan itu, hanya empat bulan Eni bertahan, lantaran keluarganya mengetahui 'pekerjaan rahasia' tersebut. Akhirnya, ia memutuskan kembali ke Wonogiri membantu usaha keluarganya.

Baca Juga: PSK Sunan Kuning Bakal Dapat Pesangon Rp 5,5 Juta Dari Pemkot Semarang

"Nggak cukup cari uang di desa, anak-anak sudah mau sekolah butuh duit banyak. Saya diajak kawan ke Sunan Kuning akhirnya," ujarnya.

Eni mengaku kehidupan prostitusi di Sunan Kuning jauh lebih baik. Bukan hanya dari segi penghasilan saja. Lebih dari itu, sarana fasilitas terbilang mumpuni untuk sebuah komplek lokalisasi.

"Di sini aman. Aman dari kriminal, aman dari penyakit, ada fasiltas kesehatan, yang sakit langsung di bimbing dan dirawat. Hubungan seks wajib aman di sini," bebernya.

Menurutnya, karena faktor aman itulah, pelanggan pria pemburu syahwat banyak yang berdatangan. Pekerjaan di Sunan Kuning, dijalani Eni sebagai wanita pemuas seks sekaligus pemandu lagu karaoke.

Tarif pun dipatok beragam, dengan standar minimal Rp 150 ribu tiap kencan. Tak jarang, Eni bisa membawa uang Rp 200 ribu untuk sekali kencan, jika sang pelanggan tak menawar.

Ada juga bertarif Rp 350 ribu, kata Eni, itu bagi mereka yang menurut pelanggan aduhai dari segala koleksi yang ada, bisa lebih cantik dan lebih gemulai.

"Ya sekali naik minimal Rp 150 ribu. Bisa lima tamu, mentok enam tamu. Seminggu dapat hasil diatas pekerja UMR lah," katanya.

Penghuni Lokalisasi Sunan Kuning Kota Semarang mendapatkan sosialisasi dari pemerintah setempat terkait rencana penutupan kawasan tersebut. [Suara.com/Adam Iyasa]

Hitungan itu dikala normal, namun saat terjadi lonjakan pengunjung. Mau tak mau dia harus melayani tamu-tamu yang kadung datang di lokalisasi.

"Tapi kalau ramai bisa delapan sampai 15 tamu semalam. Lumayan semalam bisa dapat tiga jutaan," katanya.

Mengenai siapa saja yang pernah mendapat servis kenikmatan ranjangnya, Eni mengakui umumnya semua pria yang berduit baik pekerja swasta, mahasiswa, atau orang umum lainnya.

"Tapi ada juga kok sebagian itu anggota Polri atau TNI," ungkapnya.

Pendapatan Eni pun bisa bertambah. Tak hanya sebatas jasa servis kenikmatan ranjangnya. Tamu karaoke juga dia layani dengan memandu lagu.

"Tarif Rp 60 ribu per jam untuk karaoke. Per hari nyanyi karaoke dapat sekitar Rp 500 ribu, bersih. Belum untuk buat makan dan rokok itu," katanya.

Dari penghasilan tiap transaksi syahwat dan pemandu lagu, Eni dan para pekerja seks lainnya harus berbagai untung dengan sang mucikari atau mami.

"Setiap transaksi ranjang kasih ke mucikari Rp 30 ribu. Karaoke per jam dapat Rp 60 ribu, dipotong mami Rp 20 ribu, untuk operator lagu per jam kasih Rp 5 ribu. Sisanya buat pribadi," katanya.

Setiap bulan Eni mengaku bisa mengantongi pendapatan minimal Rp 7 juta. Namun begitu, menurutnya angka tersebut dianggap masih kurang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.

"Per bulan kadang lebih, kadang tidak. Bisa sampai Rp 7 jutaan. Ya itu kurang lah sebenarnya," katanya yang pernah bercerai karena diselingkuhi pasangannya.

Kurangnya penghasilan dalam mencukupi kebutuhan keluarga, ditambah rencana Pemkot Semarang menutup lokalisasi membuat Eni was-was. Penutupan lokalisasi dinilai dia terlalu spontan dan akan merepotkan warga binaan Resosialisasi Argorejo untuk mendapatkan pekerjaan baru.

"Cari kerja baru susah, kerja itu kan harus pakai ijazah, semua yang ada di sini itu tidak punya ijazah. Ijazah saya juga hilang," katanya yang hanya lulus Sekolah Dasar.

Namun begitu, dia siap menerima kenyataan jika memang lokalisasi Sunan Kuning ditutup selamanya. Secara pribadi dia menerima namun meminta pemerintah untuk memberikan jaminan.

"Kalau dikasih modal dan kios saya siap secara pribadi jika ditutup. Kalau hanya uang lima juta kurang, ada hutang juga," katanya.

Dari usaha kios itu dia berencana membuka warung makan penyet Lamongan, sebagaimana keahliannya selama pelatihan ketrampilan di Resos Argorejo pada tata boga.

"Hidup baru siapa yang tidak mau, masa seumur hidup layak begini. Penginnya buka warung penyet, sampai mungkin ada yang mau terima saya apa adanya sebagai istri untuk bangun keluarga baru," harapnya.

Kontributor : Adam Iyasa

Load More