Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 21 Januari 2021 | 14:32 WIB
Tito (kanan) mahasiswa Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Unsoed melakukan ujicoba alat deteksi dini longsor yang dikembangkan dengan harga ekonomis, Kamis (21/1/2021). (Suara.com/Anang Firmansyah)

SuaraJawaTengah.id - Hujan dengan intensitas tinggi memicu longsor di beberapa daerah wilayah Indonesia pada akhir-akhir ini. Banyak antisiapsi yang dilakukan, namun tetap saja memakan korban. 

Hal itulah yang kemudian membuat Tim Kolaborasi Pemuda Bersedekah yang salah satunya berisikan mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto berkreativitas merakit alat pendeteksi dini longsor dengan harga ekonomis.

Tito Yudatama (22), mahasiswa Jurusan Fisika, yang merakit alat tersebut menjelaskan dirinya melakukan ujicoba dan riset selama 2 bulan. Alat ini menggunakan komponen sederhana yang mudah didapatkan di pasaran.

"Ini adalah pengembangan alat sistem peringatan dini, disini untuk mendeteksi pergerakan tanah dibuat sederhana mungkin agar masyarakat umum bisa membuatnya karena memang itulah tujuannya agar masyarakat bisa hidup berdampingan dengan bencana," katanya saat ditemui, Kamis (21/1/2021).

Baca Juga: Yamaha Berikan Apresiasi Kepada Anak Muda, Dukung Festival Ayo Membaca

Komponen yang digunakan berupa baterai 9 volt, lalu boks hitam untuk membungkus komponen berbahan plastik, pasak, lalu sirine dengan ukuran kecil dan tali sling baja ukuran menyesuaikan dengan jarak lokasi yang akan dipasang.

"Cara kerjanya, apabila pasak yang dipasang bergeser menjauhi sumber alat yang dipasang maka akan mencabut jek. Sehingga akan membunyikan sirine. Alat ini cocok untuk skala yang kecil kurang lebih 100 meter dari lereng menuju permukiman. Kurang cocok skala besar yang jaraknya jauh dari permukiman karena terbatas menggunakan sirine kecil," jelasnya.

Jika dibandingkan dengan alat pendeteksi longsor yang selama ini beredar dengan harga Rp 3,5 juta sampai ratusan juta, alat ini tergolong murah. Karena tidak sampai menghabiskan biaya Rp 500 ribu.

"Untuk alat ini hanya menghabiskan Rp 350 sampai 400 ribu. Karena itu tadi komponennya sederhana. Gampang didapatkan dan murah," terangnya.

Alat ini menurut Tito, berawal dari BPBD Magelang. Kemudian dirinya menghubungi untuk dikembangkan dengan harga yang lebih ekonomis agar bisa dibuat sendiri oleh masyarakat luas.

Baca Juga: Festival Ayo Membaca untuk Pelajar, Apresiasi Yamaha Kepada Anak Muda

"Kami membuat projek sosial, rencananya membuat prototipe ini. Nah kami sedang mengajukan proses kolaborasi dengan BPBD Banyumas, kalau disetujui kami mahasiswa akan menggalang dana lalu membuat bersama mitra dalam hal ini UKM Mahasiswa, nanti BPBD hanya menerima hibah kami serahkan langsung untuk implementasi," lanjutnya.

Dirinya mengatakan jika cara kerja alat ini merupakan mekanis. Kemudian diberi komponen kelistrikan, berbeda dengan menggunakan sensor yang ada proses kalibrasi untuk mengetahui sensitifitasnya.

"Jadi ada proses lebih panjang. Itulah yang menyebabkan perbedaan harganya. Mulai menggunakan panel surya. Dan aki juga mahal. Sensornya saja mungkin harganya mencapai Rp 2 jutaan," pungkasnya.

Kontributor : Anang Firmansyah

Load More