Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 12 Februari 2021 | 17:18 WIB
Akses jalan menuju Kampung Tirang Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal setelah menyeberangi sungai. (Suara.com/F Firdaus)

SuaraJawaTengah.id - ‎Meski lokasinya tak jauh dari pusat kota, sebuah perkampungan di Kota Tegal kondisinya bertahun-tahun terisolir dari wilayah lain di Kota Bahari.

Perkampungan tersebut yakni Kampung Tirang di Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat. Menuju permukiman yang berada di pesisir pantai Kota Tegal ini harus terlebih dahulu menyeberang menggunakan rakit atau perahu milik nelayan dan setelah itu berjalan kaki sejauh sekitar satu kilometer.

Hal itu karena karena wilayah Kampung Tirang dengan wilayah permukiman lainnya di Kelurahan Tegalsari Kota Tegal ini dipisahkan oleh sungai yang menjadi akses kapal dan perahu nelayan pulang-pergi melaut.

Kampung Tirang hanya dihuni oleh 12 kepala keluarga (KK). Mereka meninggali rumah yang mayoritas adalah bangunan semi permanen. 

Rumah-rumah tersebut dibuat dengan dinding dari potongan kayu dan papan serta lantainya masih tanah. Sedangkan bagian atapnya ada yang hanya menggunakan seng.

Salah satu warga yang tinggal di Kampung‎ Tirang, Husein, 58, mengaku sudah sejak tahun 2000-an tinggal di Kampung Tirang bersama istri dan seorang anaknya.

"Jumlah warga seluruhnya ada 12 KK‎. Dari dulu segitu," katanya saat ditemui Suara.com, Jumat (12/2/2021).

Menurut Husein, untuk membeli kebutuhan sehari-hari atau mengakses layanan kesehatan, warga mesti menyeberangi sungai menggunakan rakit atau perahu nelayan.

‎"Ada jalan lain tapi harus muter jauh lewat Kelurahan Muarareja pakai motor. Jalannya juga rusak karena di pinggir pantai. Paling cepat nyeberang pakai getek (rakit). Saya juga tidak punya motor, cuma punya sepeda," ucapnya.

Baca Juga: Awas Kualat! Mitos Angker Sukses Merawat Alam di Desa Margoyoso Magelang

‎Selain harus menempuh akses jalan yang sulit untuk keluar-masuk kampung, Husein dan warga lainnya yang tinggal di Kampung Tirang sempat tidak menikmati adanya listrik.

‎Sebelum teraliri listrik, warga mengandalkan lampu teplok untuk penerangan di rumah saat malam hari. "Listrik baru masuk tiga tahun yang lalu," ujar Husein.

Menurut Husein, tanah yang dia dan warga lain tinggali ‎merupakan tanah milik pemerintah. Dia pun harus bersiap jika sewaktu-waktu diminta pindah.

"Dulunya tanah kosong, ‎tidak berpenghuni. Ini tidak sewa, bayar listrik saja.‎ Nanti kalau disuruh pindah ya pindah lagi," tutur pria yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan harian itu.

‎Ketiadaan akses jalan yang memadai tak hanya menyulitkan warga ketika hendak menuju ke wilayah lain, tetapi juga membuat sejumlah anak di Kampung Tirang putus sekolah.

Seperti dialami Muhamad Pasetyo. Di usainya yang menginjak 14 tahun, Prasetyo seharusnya sudah duduk di bangku SMP. Namun dia terakhir kali bersekolah kelas 2 SD.

Load More