Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 17 Februari 2021 | 07:33 WIB
Keadaan rumah warga di Tambaklorok pesisir Kota Semarang yang terus mengalami penurunan tanah (Suara.com/Dafi Yusuf)

SuaraJawaTengah.id - Kawasan peisir Kota Semarang diprediksi akan tenggelam dalam waktu 10 tahun yang akan datang. Hal itu disebabkan oleh pengambilan air tanah yang berlebih.

Departemen Sistem Air Terpadu dan Tata Kelola pada IHE Delft Institute for Water Educatio, Michelle Kooy mengatakan,  pesisir Kota Semarang akan hilang dalam waktu 10 tahun yang akan datang jika tak ada perubahan.

Selain itu, dia mengingatkan agar Pemerintah Kota Semarang membuat perencanaan dan arah kebijakan yang sesuai dengan kondisi daerah di Kota Semarang, terutama yang ada di kawasan pesisir.

"Ini tergantung dengan pilihan-pilihan yang diambil oleh pemangku jabatan, Pemerintah  harus membuat kebijakan yang sesuai dengan  kondisi di daerah-daerah pesisir," "  jelasnya kepada awak media, Selasa (16/2/2021).

Baca Juga: Pandemi Covid-19, Bikin 3,90 Juta Penduduk Jawa Tengah Nganggur

Sejak Oktober 2020 - Januari 2021, Konsorsium Ground Up yang terdiri dari akademisi dan kelompok masyarakat sipil (IHE Delft Institute for Water Education, University of Amsterdam, Universitas Gadjah Mada, Amrta Institute dan KruHA) melakukan penelitian mengenai akses terhadap dan risiko terkait air di Kota Semarang.

Menurutnya, beberapa temuannya relevan dengan kejadian banjir yang terjadi di Semarang pada awal Februari 2021. Penelitian dilakukan di enam lokasi yang ditentukan berdasarkan beberapa kriteria spesifik.

"Yaitu zona air tanah (kritis, rentan dan aman), akses terhadap jaringan PDAM, risiko banjir dan amblesan tanah. Metode yang digunakan adalah survey dengan 319 responden yang berada di 6 lokasi terpilih dan dilengkapi dengan observasi lapangan dan studi literatur," paparnya.

Kondisi makam yang tenggelam di Tambaklorok Kota Semarang (suara.com/Dafi Yusuf)

Penemuan pertama yang relevan dengan banjir yang baru saja terjadi adalah ketergantungan Semarang yang besar pada air tanah untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari 79,7 persen.

"Dari 79,7 persen tersebut, sebanyak 48.6 persen menggunakan air tanah dalam (ATDm) dan 31.1 persen menggunakan air tanah dangkal (ATDl)," imbuhnya.

Baca Juga: Melonjak! Harga Kedelai Impor di Kudus Hampir Rp10 Ribu per Kilogram

Sementara itu, peneliti tata kelola air dan kota University of Amsterdam, Bosman Batubara mengatakan, ketergantungan pada air tanah relevan dengan pengelolaan banjir karena pengambilan air tanah yang berlebihan.

"Dari akuifer tertekan dapat menyebabkan terjadinya amblesan tanah (land subsidence)," jelasnya.

Menurutnya, amblesan tanah berdampak pada peningkatan risiko banjir. Banjir yang dimaksud adalah bajir lokal akibat curah hujan di satu lokasi melebihi kapasitas sistem drainase yang ada.

"Yang kedua yaitu banjir rob yang terjadi akibat aliran dari air pasang atau aliran balik dari saluran drainase akibat terhambat oleh air pasang," ujarnya.

Beberapa penyebab amblesan tanah selain pemanfaatan air tanah berlebihan adalah pembebanan bangunan, kompaksi (pemadatan) tanah aluvial, aktivitas tektonik.

Selain itu, pengerukan berkala yang dilakukan di Pelabuhan Tanjung Emas juga membuat sedimen di bawah Kota Semarang bergerak ke arah laut.

"Penyedotan air tanah berlebihan biasanya menyebabkan terjadi amblesan tanah dalam skala luas sedangkan pembebanan bangunan menyebabkan amblesan yang lebih lokal," katanya.

Beberapa daerah yang masih memakai air tanah di Semarang yaitu, Pandean Lamper, Siwalan, Sambirejo, Kangtempel, Rejosari, Lamper Lor, Lamper Kidul dan Lamper Tengah.

Kontributor : Dafi Yusuf

Load More