“Jika melawan Belanda dengan kekerasan, ini akan bertentangan dengan ajaran. Kalau kita menggunakan cara kekerasan, secara tidak langsung kita kehilangan tanah Jawa, karena tidak mengikuti falsafah hidup orang Jawa,” tegas Budi.
Satu-satunya cara adalah dengan melakukan pembangkangan apa-apa yang menjadi kepentingan kolonialisme saat itu.
Meski harus menerima perlakukan yang sadis, pengikut Samin tetap tegak lurus dengan apa yang diyakini yakni tidak boleh srei (jegal), jrengki (benci), dahpen (mencela), panasaten (mudah marah), kemiren (iri hati).
“Diperlakukan kejam era Belanda karena melakukan perlawanan dengan sikap. Contohnya kakek buyut di Kaliyoso, kakek, hingga bapak saya, ibarat mandi darah karena tidak mau membayar pajak masa belanda. Sandang pangan, rumah dirobohkan, buat lagi dibakar, hewan ternak sapi dan kerbau dirampas,” ujarnya.
Setelah menggunakan cara kekerasan tidak mempan, dah malah semakin berkembang ideologi tersebut. Maka oleh Belanda menggunakan stigma negatif kepada penganut Sedulur Sikep.
“Untuk menghilangkan pengikut, maka oleh Belanda membuat stigma negatif. Seperti, Samin pingin membuat negara sendiri, tidak mengikuti aturan pemerintah, kolot, dan sebagainya. Ini karena Samin berani melawan penjajah. Dan stigma itu saya kira masih melekat sampai sekarang,” paparnya.
Di tengah gempuran modernisasi di era 4.0, penganut Sikep tetap kukuh melestarikan warisan budaya Jawa. Baik dalam berkehidupan sehari-hari dengan manusia lainnya, hingga berselaras dengan alam.
Budi menyebut, saat ini orang yang mengaku sebagai orang Jawa, telah banyak yang tidak mau menerapkan tradisi jawa yang diwariskan oleh leluhur.
Padahal, ajaran Jawa memiliki banyak nilai seperti, cara bertani, pegangan hidup, adat istiadat, tata krama, sastra, cara bertutur, dan sebagainya.
Baca Juga: Setelah Kebakaran, Sebagian Pedagang Pasar Kliwon Mulai Jualan Lagi
“Tradisi sesuai ajaran, pernikahan misalnya. Pegangan sebagai kebesaran seperti pakaian adat. Unggah-ungguh menghormati leluhur dan manusia lainnya ditekankan. Itu contoh kecilnya,” jelasnya.
Meski begitu, diakui Budi, di Sedulur Sikep tidak memiliki hari raya khusus seperti aliran kepercayaan atau agama lainnya.
Hanya saja pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa, biasa melakukan tirakat muteh (puasa, makan tidak mengandung hewan hidup, biasanya hanya nasi putih saja). Tidak tidur sehari-semalam, dan semedi (meditasi, pemusatan pikiran dan perasaan) secara bersama-sama.
“Itu tadi kan ajaran Jawa, sehingga kalau kita klaim sebagai Hari Raya Sikep kan enggak baik. Kalau kita mau buat hari raya sendiri sebetulnya bisa saja, kalau kita mau. Belum ada hari raya,” pungkasnya.
Kontributor : Fadil AM
Berita Terkait
Terpopuler
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 7 Mobil Bekas Keluarga 3 Baris Rp50 Jutaan Paling Dicari, Terbaik Sepanjang Masa
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- 5 Sepatu Running Lokal Selevel Asics Original, Kualitas Juara Harga Aman di Dompet
- 7 HP Samsung Seri A Turun Harga hingga Rp 1 Jutaan, Mana yang Paling Worth It?
Pilihan
-
Jadwal dan Link Streaming Nonton Rizky Ridho Bakal Raih Puskas Award 2025 Malam Ini
-
5 HP RAM 6 GB Paling Murah untuk Multitasking Lancar bagi Pengguna Umum
-
Viral Atlet Indonesia Lagi Hamil 4 Bulan Tetap Bertanding di SEA Games 2025, Eh Dapat Emas
-
6 HP Snapdragon RAM 8 GB Termurah: Terbaik untuk Daily Driver Gaming dan Multitasking
-
Analisis: Taktik Jitu Andoni Iraola Obrak Abrik Jantung Pertahanan Manchester United
Terkini
-
Polisi Ungkap Pembunuhan Advokat di Cilacap, Motif Pelaku Bikin Geleng-geleng
-
UPZ Baznas Semen Gresik Salurkan Bantuan Kemanusiaan bagi Warga Terdampak Bencana Banjir di Sumbar
-
3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
-
7 Destinasi Wisata Kota Tegal yang Cocok untuk Liburan Akhir Tahun 2025
-
Gaji PNS Naik Januari 2026? Kabar Gembira untuk Abdi Negara