Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 20 Mei 2021 | 18:06 WIB
Ketupat Jembut makanan khas Semarang ketika Syawalan (suara.com/DafiYusuf)

SuaraJawaTengah.id - Kupat jembut, mungkin namanya terdengar aneh dan kontroversial. Namun itulah tradisi syawalan di Kota Semarang

Mempertahankan tradisi secara turun temurun memang tidak mudah. Perlu dedikasi dan kepedulian yang tinggi. Jika tidak, tradisi kupat jembut itu mungkin akan tergerus zaman.

Dilansir dari Ayosemarang.com, Juwarti, sesepuh di RW 1 Kelurahan Pedurungan Tengah merupakan keturunan terakhir yang masih mempertahankan tradisi kupat jembut di bulan syawal. Di kampungnya dari tahun ke tahun selalu ada tradisi rutin di Hari Raya Syawalan. 

Setelah membagi-bagi kupat jembut pada Kamis (20/5/2021), dia khawatir jika tradisi ini akan hilang. Pasalnya Juwarti sadar saat ini zaman semakin modern dan jika tidak diingatkan terkadang pemuda akan lupa.

Baca Juga: Musim Pancaroba di Kota Semarang Diprediksi akan Terjadi Akhir Mei Ini

“Saya generasi paling tua di kampung ini. Jadi saya juga ikut mencetuskan tradisi ini setiap syawal,” ujar Juwarti.

Selain itu hal yang paling membuat Juwarti khawatir adalah, sudah berkurangnya minat warga untuk memasak sendiri kupat jembut. Mungkin agar lebih praktis warga memilih membeli langsung.

“Padahal rasanya berbeda kalau masak sendiri,” tambahnya.

Sejumlah anak mengantre untuk mendapatkan ketupat jembut di Kota Semarang (suara.com/DafiYusuf) 

Juwarti kemudian menjelaskan bagaimana dia memasak kupat jembut. Caranya adalah dengan membuat kupat terlebih dahulu sebagaimana umumnya. Kupat dikukus selama 6 jam.

Dalam sekali masak, Juwarti bisa membuat sebanyak 80 Kupat Jembut. Biasanya dia juga sempat mendapat pesanan. Namun belakangan dikarenakan pandemi, belum ada lagi yang meminta.

Baca Juga: Di Kota Semarang, Laki-laki Dominasi Kasus Covid-19 Dibanding Perempuan

“Setelah kupat matang, lalu tengahnya dibelah. Setelah dibelah dimasuki tauge dan sayur-sayuran yang diurapi dengan sambal kelapa. Atau ya bisa disebut dengan gudangan,” jelasnya.

Berbeda dengan kupat, gudangan dalam hal ini dibuat secara dadakan. Sebab sambal parutan kelapa sebagai bumbu tidak bisa dibuat dalam waktu yang lama. Jika dipaksakan maka akan basi.

Juwarti juga membeberkan jika warganya belum banyak yang bisa membuat kupat. Dia pun berharap bisa terus sehat agar bisa terus memasak dan melestarikan tradisi ini.

“Semoga masih ada yang mau belajar dan meneruskan,” pungkasnya. 

Load More