Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Selasa, 03 Agustus 2021 | 16:11 WIB
Kondisi obyek wisata Guci Kabupaten Tegal yang sepi dari wisatawan, Jumat (30/7/2021). Bendera putih tampak dipasang para pelaku usaha sebagai tanda menyerah dengan keadaan. [Suara.com/F Firdaus]

SuaraJawaTengah.id - ‎Obyek wisata Guci di Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal selama ini menjadi destinasi wisata favorit warga Kabupaten Tegal dan sekitarnya, bahkan luar provinsi untuk menghabiskan hari libur.

Tak heran, tempat wisata pemandian air panas yang berada di kaki Gunung Slamet itu selalu ramai wisatawan saat libur akhir pekan dan libur nasional. Banyaknya wisatawan yang datang itu kerap membuat Jalan Raya Yomani-Guci yang menjadi akses utama menuju Guci macet.

Namun pemandangan itu sudah tak terlihat lagi sejak Guci ditutup pada 8 Juni 2021karena kebijakan Pemerintah Kabupaten Kabupaten Tegal disusul adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dan Level. Selama sekitar dua bulan ditutup, kondisi kawasan Guci sepi dari wisatawan. 

Deretan home stay dan villa terlihat kosong. Tak ada warga yang berdiri di pinggir jalan untuk menawarkan tempat menginap kepada wisatawan yang lewat seperti biasanya.‎ ‎Yang ada, bendera putih yang berkibar di depan home stay dan villa sebagai isyarat menyerah pada keadaan.

Baca Juga: Korupsi Bansos Covid-19, Pengacara Aa Umbara Singgung Sosok Berpengaruh 'HK'

Kondisi serupa juga terlihat di dereran kios yang menjual makanan dan souvenir oleh-oleh. Para pedagang memilih menutup kiosnya karena tak ada wisatawan yang datang. Salah satunya adalah Rohati (38).

‎"Nggak jualan, sepi. Nggak ada pengunjung, jadi jualan nggak laku," kata Rohati saat ditemui Jumat (30/7/2021).

Sejumlah wisatawan bermain air pemandian pancuran 13 di Obyek Wisata Guci, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (15/6) atau sebelum Pandemi Covid-19. [ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah]

Sebelum pandemi melanda, Rohati sehari-hari berjualan makanan di kawasan Guci. Dari usahanya itu, dia bisa mengantongi Rp 200 ribu - Rp 300 ribu per hari. Dia mulai berjualan sejak pukul 06.00 hingga 17.30 WIB. "Sekarang mau cari Rp 100 ribu saja susah banget," tuturnya.

Padahal Rohati harus menghidupi dua anak. Selain kedua anak dan suaminya, dia tinggal di satu rumah bersama kakak dan sejumlah keponakan. "Satu rumah ada delapan orang," ungkapnya.

‎Suami Rohati bekerja jadi kuli serabutan. Dia baru bisa memperoleh uang ketika ada orang yang membutuhkan tenaganya. "Sekarang keadaan seperti ini suami yang nyuruh-nyuruh jarang," ujarnya.

Baca Juga: Penting! Tips dan Prosedur Pemberian ASI saat Ibu Menyusui Positif Covid-19

Rohati pun terpaksa berhutang ke koperasi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, seperti makan dan membayar listrik. Dia juga harus menjual dua sepeda motor karena terdesak kebutuhan uang untuk modal jualan dan membayar utang.

"Sebelum PPKM motor saya jual satu untuk nutup modal saat Guci ditutup tahun lalu, saat awal-awal corona. ‎Terus buat modal jualan saat libur Lebaran saya minjem uang lagi. Tapi pas Lebaran Guci ternyata ditutup lagi, jadi nggak bisa jualan. Pas sudah harus bayar utang belum ada uang, jadi jual lagi satu motor kemarin. Satu motor harganya Rp 4 juta. Motornya keluaran tahun lama, makanya murah," ujarnya.

Kondisi sulit yang sedang dialami Rohati juga berimbas pada pendidikan anak sulungnya, Laelatul Inayah (20). Memasuki semester dua, Laelatul yang kuliah di Universitas Negeri Semarang (Unnes) jurusan Seni dan Budaya terpaksa cuti karena tidak bisa membayar uang semester.

‎"Kuliah anak saya per semester Rp 4 juta. Sudah masuk semester dua. Pas semester satu masih bisa bayar, semester kedua nggak bisa akhirnya keluar, cuti dulu‎‎. Sempat kerja di home stay tapi sekarang berhenti karena lagi sepi," ucapnya.

Sejumlah wisatawan bermain air pemandian pancuran 13 di Obyek Wisata Guci, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (15/6) atau sebelum pandemi Covid-19. [ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah]

Rohati pun berharap Guci bisa segera dibuka lagi agar dia bisa kembali mendapat penghasilan dan anaknya bisa melanjutkan kuliah.

‎"Kalau situasi sudah normal, anak pengennya lanjut kuliah. Makanya saya usaha kecil-kecilan supaya anak bisa kuliah. Dia cita-citanya jadi guru," harapnya.

Ketua Paguyuban Pondok Wisata Guci Sopan Sofiyanto mengatakan, ada sekitar 700 pelaku usaha yang terdampak panutupan Guci, mulai dari pemilik home stay hingga pedagang. Dari jumlah itu, 95 persen sepenuhnya mengandalkan penghasilan dari wisatawan yang datang ke Guci. 

"Otomatis sejak Guci ditutup 8 Juni, bahkan sebelum PPKM, mereka tidak punya penghasilan. Sedangkan angsuran di bank tidak ada hari liburnya. Kebutuhan pokok dan kebutuhan anak juga harus terpenuhi. Apalagi sekolah kan daring, perlu pulsa," ujarnya.

Menurut Sopan,‎ pelaku usaha kecil yang tak memiliki sumber penghasilan lain mencoba bertahan selama Guci ditutup dengan berbagai cara. Mereka ada yang sampai menjual sepeda motor dan menggadaikan sertifikat rumah atau tanah.

"Harapannya Guci dibuka kembali, tapi cara-caranya kami bingung, harus seperti apa. Makanya pelaku wisata melakukan pengibaran bendera putih atas inisiatif masing-masing karena sudah menyerah dengan keadaan. Harapannya ada solusi‎ dari pemerintah untuk pelaku wisata seperti kami," ujarnya.

Kontributor : F Firdaus

Load More