Budi Arista Romadhoni
Kamis, 28 Oktober 2021 | 07:00 WIB
Perjalan Pemuda Banjarnegara, Menjadi "Sarjana Telo" Demi Berjuang untuk Ketahanan Pangan
Riza Azzumaridha Azra, Petani Milenial Berjuang Dalam Pemberdayaan dan Ketahanan Pangan di Banjarnegara. (Suara.com/Citra Ningsih)

SuaraJawaTengah.id - Seorang pemuda asal Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah mendapat julukan gelar "ST" atau "Sarjana Telo".

Julukan tersebut bukan tanpa alasan, pemuda Banjarnegara yang memiliki nama lengkap Riza Azzumaridha Azra adalah sosok yang menjadikan singkong sebagai senjata utama dalam memperjuangkan nasib petani dan ketahanan pangan.

Ketertarikan laki laki yang akrab disapa Riza memang tidak seperti kebanyakan pemuda milenial saat ini. Di tengah era kecanggihan teknologi dan kehidupan serba modern, Riza pemuda asal Banjarnegara ini justru menyerahkan hidupnya pada singkong atau dalam bahasa jawa disebut "telo".

"Selama ini memang singkong dikenal sebagai makanan orang miskin , marjinal dan tidak banyak yang tertarik sama singkong,"ujar Riza kepada Suara.com Rabu (27/10/2021).

Riza yang memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Teknik dengan sukarela pindah haluan ke bidang pertanian. Kemirisan akan harga singkong yang hanya Rp200 rupiah per kilogram, menjadi alasan pertamanya untuk menekuni dan memperjuangkan nasib petani.

"Senang banget kegiatan sosial, di kuliah ada mentor ngajarin biar dekat sama orang yang kurang beruntung sampai akhirnya menemukan titik saya bahagia ketika bisa bikin orang lain bahagia. Sampai pada tahun 2014 pulang ke Banjarnegara bikin komunitas rumah baca, sahabat difabel dan Sekolah Inspirasi Pedalaman (SIP). Nah waktu nganter kursi roda ke salah satu anak, bapaknya (anak) ternyata petani singkong dan disitulah saya tahu kalau harga singkong cuma Rp 200 perak satu kilogram," jelas Riza.

Sesaat Riza melakukan survei harga singkong di sejumlah wilayah di Kabupaten Banjarnegara. Ternyata, Ia mendapati harga singkong yang sama yakni sekitar Rp 200 perak per satu kilogram.

"Saya lakukan analisis sosial ketika mendengar harga singkong segitu, dan ternyata hampir semua rata rata segitu (RP 200/kilogram). Bahkan sering para petani singkong membiarkan singkong membusuk di lahan daripada rugi karena harus mengeluarkan biaya panen. Disitu akhirnya memutuskan untuk menolong. Karena saya dulu nggak punya otoritas di singkong jadi saya pergi menemui pakar, praktisi dan akademisi,"kata Riza.

Dalam perjalan Riza memutuskan untuk mengolah singkong menjadi tepung mocaf. Sebab, ditengah harga singkong yang sangat murah, Indonesia masih mengimpor gandum dan disisi lain petani singkong hidup dibawah gari kemiskinan.

Baca Juga: Beredar Video Arus Deras Kali Kacangan Banjarnegara, Warga dan Pemancing Diminta Waspada

"Tujuannya mengurangi impor gandum yang menguras devisa negara. Kalau diseriusin bisa jadi kedaulatan pangan, negara Indonesia yang merupakan penghasil kedua singkong terbesar, tapi ternyata petani hidup dibawah garis kemiskinan. Ini ironi, hasil singkong melimpah, tapi kita impor gandum, sementara petani miskin,"papar Riza.

Ia semakin mantap untuk meniti perjuangannya dari nol. Riza melakukan pelatihan pembuatan tepung mocaf kepada petani singkong. Harapannya, petani dapat menjual hasil panennya dengan harga yang lebih tinggi jika dibandingkan langsung menjualnya dalam bentuk singkong.

Namun ternyata tak semudah itu. Riza mendapati masalah serius pada proses pemasaran. Petani mengeluh tidak bisa memasarkan produk tepung mocaf yang dibuat dengan jerih payah yang lebih dari hanya sekadar panen.

"Mungkin sebagian orang lihatnya saat ini, setelah memperoleh beberapa pencapaian. Tapi 7 tahun - 8 tahun itu kan panjang, sempat jatuh bangun, nyoba sendiri di rumah, kemudian diajarkan ke petani yang waktu itu belum tentu mau. Pikirku cukup mendampingi petani kemudian mereka bisa menjual sendiri. Ternyata tidak semudah itu. Ketika mengajarkan mereka, mereka komplain gimana cara menjualnya, butuh dokumen  untuk identitas produk penjualan juga,"tutur Riza.

Seketika, Ia menyadari bahwa konsep pemberdayaan yang dilakukan belum tuntas. Ia memutuskan untuk membentuk ekosistem dari hulu ke hilir yaitu dari awal sampai akhir. "Tersadar setelah tahun 2016, ketika petani tidak bisa memasarkan. Kemudian ketika membentuk ekosistem muncul masalah lagi yaitu waktu itu masih kepikiran mau pemberdayaan atau bisnis, karena ada relawan yang butuh kehidupan juga,"kata dia.

Ia akhirnya melakukan konsultasi untuk menggabungkan sosial dengan bisnis yang disebut Sociopreneur. Hasilnya, konsep tersebut dinilai sangat menguntungkan bagi semua pihak.

Load More