Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 01 Desember 2021 | 07:00 WIB
Ilustrasi Buruh membawa poster saat menggelar aksi unjuk rasa menolak upah minimum provinsi (UMP) di depan Balai Kota DKI Jakarta, Senin (29/11/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

SuaraJawaTengah.id - Kenaikan upah buruh selalu diperdebatkan menjelang pergantian tahun. Naiknya Upah Minimum Provinsi (UMP) diusulkan para kepala daerah dari Wali Kota/Bupati ke Gubernur. 

Kenaikan upah buruh tak selalu sama setiap tahunnya. UMP atau UMK selalu dihitung bersama dengan pengusaha dan perwakilan buruh. 

Menyadur dari Solopos.com, Pakar pengupahan yang juga akademisi UNS Solo, Bhimo Rizky Samudro, menilai penetapan UMK 2022 lebih menguntungkan pengusaha. Variabel dalam penghitungan UMK berdasarkan PP No 36 itu tidak sedetail survei KHL.

Padahal, survei KHL pun masih diperdebatkan dan kerap tarik ulur. Seperti diketahui, Selasa (30/11/2021) adalah batas akhir penetapan usulan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2022 untuk diajukan ke Gubernur.

Baca Juga: Tok! Gibran Sahkan UMK Kota Solo 2022, Ini Besaran Kenaikannya

Penetapan nilai UMK kali ini tak mengacu pada survei kebutuhan hidup layak (KHL), melainkan Peraturan Pemerintah (PP) No 36/2021 tentang Pengupahan. Variabel penetapan UMK itu meliputi rerata konsumsi rumah tangga, rerata jumlah anggota keluarga per rumah tangga, dan rerata anggota keluarga yang bekerja.

“Variebel yang digunakan tidak jelas, konsumsi rumah tangganya per keluarga seperti apa, rerata jumlah anggota keluarga bekerja di sektor apa, tidak jelas, malah dipakai sebagai acuan. Kami mempertanyakan pergeseran acuan ini,” katanya dalam bincang virtual yang digelar Solopos Media Group (SMG), Selasa sore.

Selain itu, PP No 36 yang menjadi dasar penetapan UMK 2022 adalah produk turunan dari Undang-undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan UU sapu jagad itu cacat secara formil.

MK meminta pemerintah menangguhkan segala tindakan kebijakan strategis dan berdampak luas. Pemerintah tidak bisa menerbitkan peraturan turunan baru atau strategis dari UU tersebut sebelum perbaikan yang dinyatakan dalam putusan telah dilakukan.

Pernyataan Jokowi

Baca Juga: Long March Buruh di Tol Cipularang Lewati KM 97

Namun, pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini justru tak sesuai dengan keputusan MK. Di akhir pernyataan itu, Jokowi malah berbicara mengenai investasi dan sektor bisnis, bukan dari sisi pekerja. Padahal UU tersebut menjadi acuan pengupahan pekerja.

“Di akhir pernyataannya, malah berbicara soal investasi, bukan pekerja, bukan betapa rendahnya UMP/UMK. Agaknya [pernyataan Jokowi dan UU Cipta Kerja] memang lebih banyak berpihak pada dunia usaha dibanding pekerja,” jelasnya.

Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo itu meminta pengusaha agar bernegosiasi lagi dengan pekerja terkait penetapan UMK 2022. Perusahaan bisa memberikan bonus, uang makan, maupun skema tambahan penghasilan lain agar rendahnya kenaikan UMK tak berdampak pada psikologis pekerja.

“Harus bicara soal pekerja tahun keberapa, dibuat sistem pekerja dua tahun diberi insentif, lima tahun seperti apa. Lakukan negosiasi, insentif lain, paling tidak diterapkan perusahaan kepada pekerja, gaji, bonus uang makan, atau skema pemberian tambahan dan seterusnya. Karena kalau lihat nilai UMK-nya segini akan membawa dampak psikologis bagi pekerja,” beber Bimo.

Kesehatan Terdegradasi

Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Karanganyar, Haryanto, mengamini hal tersebut. Investor dan pengusaha adalah yang paling diuntungkan dalam upah rendah. “Daya beli buruh rendah, kesehatan juga terdegradasi,” ucapnya.

Haryanto kemudian menyebut dalam satu dasawarsa terakhir terdapat tiga regulasi yang digunakan dalam penentuan UMK. Pertama, survei KHL yang dilakukan oleh pemerintah (Dinas Tenaga Kerja dan Badan Pusat Statistik), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan unsur serikat pekerja.

Kemudian, PP No,78/2015 tentang Pengupahan yang tidak lagi menggunakan metode survei namun penetapan upah ditambah laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi. “Saya kira metode survei KHL adalah yang paling adil karena yang terlibat adalah semua unsur. Nah, pada 2021, penghitungan itu berubah lagi lewat UU Cipta Kerja yang justru mendegradasi kesejahteraan buruh, dan menurunkan daya beli,” tutur Haryanto.

Menurutnya, sangat salah apabila pemerintah membuat regulasi yang tidak berpihak pada rakyat tapi pengusaha dan investor, yang seharusnya keduanya sama-sama diperhatikan. Serikat pekerja, sambungnya, mendukung keputusan MK bahwa UU Cipta Kerja cacat konstitusional.

Load More