Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Selasa, 18 Januari 2022 | 18:45 WIB
Basiyo membuat sandal upanat di Basiyo Warung Kerajinan (BW Craft) di Dusun Bumisegoro, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Magelang, Selasa (18/1/2022). [Suara.com/Angga Haksoro Ardi]

SuaraJawaTengah.id - Balai Konservasi Borobudur (BKB) membuat aturan pengunjung yang akan naik ke struktur Candi Borobudur wajib mengenakan sandal khusus.

Pengikisan batuan Candi Borobudur akibat gesekan dengan alas kaki pengunjung, diperkirakan mencapai 0,4 milimeter per tahun. Dalam 10 tahun lantai candi diperkirakan terkikis 4 centimeter.

Kepala BKB, Wiwit Kasiyati mengatakan, aturan wajib memakai sandal khusus itu berdasarkan kajian yang telah dilakukan selama lebih dari 1 tahun. Kajian mencegah aus pada lantai candi pernah diuji coba menggunakan berbagai metode.

“Kami mempunyai grafik sejak 34 tahun yang lalu, bahwa keausan (lantai candi) itu meningkat. Setiap tahun meningkat meskipun tidak terlalu besar tapi grafiknya naik,” kata Wiwit Kasiyati, Selasa (18/1/2022).

Baca Juga: Potret Bupati Magelang Naik Motor Polisi Patroli Kawasan Candi Borobudur

Upaya melindungi lantai candi antara lain dengan mengaplikasikan material pelapis lantai berbahan kayu dan karet. Uji coba metode tersebut tidak dilanjutkan karena dianggap tidak memenuhi standar keamanan dan kenyamanan pengunjung.

“Terakhir kali kami angkat lagi kajian itu (penggunaan sandal khusus). Kami fokuskan sampai tingkat kenyamanan dan keamanan pengunjung. Juga kalau bisa sandal itu sebagai souvenir,” ujar Wiwit.

Model sandal khusus kemudian mengerucut pada bentuk sandal upanat yang terpahat di panel 150 relief Karmawibhangga. Relief menggambarkan seseorang memberikan persembahan sandal yang bentuknya kemudian diadaptasi menjadi sandal upanat.

“Kami memilih upanat karena ada di relief Karmawibhangga nomer panel 150. Disitu ada persembahan alas kaki, bentuknya seperti upanat yang dipakai Pak Sandi (Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata)," paparnya.

Pembuatan sandal upanat dipercayakan kepada Basiyo (57 tahun), perajin asal Dusun Bumisegoro, Desa Borobudur. Dia dipilih mengerjakan sandal upanat setelah melalui seleksi yang dilakukan BKB sejak tahun 2018.

Baca Juga: Rekomendasi 12 Tempat Wisata di Jogja Paling Terkenal, Spot Foto Terbaik

Menurut Basiyo, workshop awal pembuatan sandal upanat diikuti oleh 40 warga mewakili 20 balkondes se-Kecamatan Borobudur. Design hasil workshop kemudian menjadi wujud akhir sandal upanat.

Menurut Basiyo, bahan sandal upanat diambil dari bahan alami yang tersedia di sekitar kawasan Borobudur.

“Dari bahan pandan dan mendong. Semua ada di sekitar bukit Menoreh sini. Kemudian jepit sandal dari batok kelapa, juga banyak di sekitar sini," tegas dia.

Sandal upanat dibuat dari anyaman daun pandan dan mendong. Bahan anyaman kemudian diberi alas sponge epa, bahan alas sepatu yang lebih keras dari busa namun lebih lembut dibandingkan karet.   

“Kalau pakai sandal seperti ini kan sehat karena menyerap keringat. Kalau sandal dari plastik pasti nanti pegal-pegal di kaki. Dipakai enak dan nggak gampang capek. Juga ramah lingkungan,” kata Basiyo.

Nantinya pengelola Borobudur akan memberlakukan harga tiket berbeda untuk pengunjung yang naik ke struktur Candi Borobudur atau sekadar di pelataran.

Harga tiket pengunjung yang naik ke struktur candi lebih mahal karena sudah termasuk mendapat sandal upanat dan fasilitas pemandu.  

“Sandal ini tujuannya memang untuk melestarikan batu candi, bukan sekadar souvenir. Kalau hanya untuk souvenir, nanti pengunjung akan komplain kok harga tiket (Borobudur) jadi naik dengan plus sandal,” kata Kepala BKB, Wiwit Kasiyati.

Selain menerapkan aturan wajib memakai sandal khusus, jumlah pengunjung yang naik ke struktur Candi Borobudur dibatasi 1.000 orang per hari. Jumlah itu berdasarkan perhitungan kapasitas maksimal struktur Candi Borobudur.

“Kami memikirkan bagaimana caranya meminimalisir pasir itu terbawa alas kaki. Karena yang membuat aus itu pasir. Akhirnya sandal yang dulu pernah kita kaji dan workshop kita angkat kembali,” ujar Wiwit Kasiyati.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More