Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Sabtu, 12 Februari 2022 | 08:00 WIB
Warga Desa Wadas menolak adanya proyek tambang batu andesit untuk kebutuhan proyek strategis nasional bendungan bener. [Suara.com/Angga Haksoro Ardhi]

SuaraJawaTengah.id - Tahun 2013, rencana pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo baru sebatas desas-desus. Sekadar kabar angin yang tidak jelas wujudnya.

Seperti lazimnya kabar angin, isu pembangunan bendungan hilang begitu saja seiring berjalannya waktu. Proyek ambisius yang konon untuk pengairan kawasan Purworejo dan sekitarnya tak lagi terdengar.

Dua tahun setelahnya, 13 Oktober 2015, salah satu perusahaan swasta rekanan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWSO) melakukan pengeboran di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo.

Warga mulai curiga, mengapa pengeboran dilakukan di Desa Wadas yang berjarak sekitar 10 kilometer dari proyek Bendungan Bener?

Baca Juga: Peristiwa Wadas Bakal Jadi Ganjalan dan Turunkan Elektabilitas Ganjar Pranowo? Begini Kata Pengamat

Kabar mengejutkan muncul. Pengeboran ditujukan untuk mengambil sampel batu andesit yang akan digunakan sebagai material pembangun bendungan.

Sampel batuan kemudian dibawa ke Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWSO) untuk diteliti. Desa Wadas masuk dalam daftar desa terdampak pembangunan bendungan.

Bendungan Bener mencakup Kabupaten Purworejo dan Wonosobo yang wilayahnya beririsan. Sebanyak 12 desa masuk dalam kawasan terdampak.

Sebanyak 7 desa berada di Kecamatan Bener yaitu Desa Bener, Karangsari, Kedungloteng, Nglaris, Limbangan, Gutur, dan Wadas. Sedangkan Desa Kemiri dan Redin masuk wilayah Kecamatan Gebang, Purworejo.

Wilayah terdampak di Kabupaten Wonosobo berada di Kecamatan Kepil yang terdiri dari Desa Gadingrejo, Bener, dan Burat.

Baca Juga: Ketahui Apa Itu Batu Andesit? Harta Karun Proyek Bendungan Bener Berujung Kisruh di Desa Wadas

SuaraJawaTengah.id tidak menemukan catatan kejadian mencolok pasca pengeboran sampel batu di Desa Wadas itu. Yang pasti pada tanggal 4 September 2017, BBWSO memasang spanduk dan banner permohonan izin lingkungan dari seluruh desa terdampak.

Dalam spanduk dan banner itu, BBWSO antara lain meminta saran, pendapat, dan tanggapan dari warga terdapak. Namun menurut warga, Desa Wadas tidak tercantum dalam pengumuman permohonan izin lingkungan.

INFOGRAFIS: Kronologi Konflik Wadas

Cacat Prosedur Dokumen AMDAL

Hingga kemudian tanggal 10 November 2017, dua warga Desa Wadas bersama Kepala Desa diundang BBWSO sebagai pemrakarsa proyek bendungan ke Hotel Sanjaya.

Mereka disodori dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Namun keduanya tidak diberi pemahaman maupun sosialisasi mengenai dampak pembangunan bendungan terhadap lingkungan Desa Wadas.

Berbekal dokumen AMDAL yang minus sosialisasi itu, pada 26 Februari 2018, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengumumkan pengadaan tanah untuk Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo.

Pengumuman pengadaan tanah bernomor 590.0001933, disusul dengan penerbitan izin lingkungan pada 8 Maret 2018.

Mengejutkan. Desa Wadas mendadak muncul sebagai salah satu desa terdampak lingkungan dan menjadi lokasi pembebasan lahan untuk keperluan pembangunan bendungan.

Desa Wadas akan dijadikan lokasi penambangan batu andesit material pembangunan Bendungan Bener.

Warga menuding Pemprov Jawa Tengah dan BBWSO sebagai pemrakarsa proyek tidak menyerap aspirasi, kritik, dan saran warga Desa Wadas dalam menerbitkan izin lingkungan.

Warga menjawab tindakan sepihak pemerintah dan pemrakarsa proyek dengan membentuk wadah perlawanan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Wadas (Gempa Dewa).

Pemerintah bergeming menghadapi protes warga Desa Wadas. Pada 27 Maret 2018, BBWSO tetap menggelar sosialisasi pengadaan tanah di Balai Desa Wadas.

Warga yang menolak kampung mereka dijadikan areal tambang, memutuskan walkout dari kegiatan sosialisasi. BBWSO kemudian mengagendakan sosialisasi kedua yang kembali mendapat penolakan dari warga.

Berkedok sosialisasi, BBWSO memanipulasi daftar hadir dalam pertemuan tersebut sebagai bukti persetujuan warga. Saat sosialisasi, warga yang hadir diminta menandatangani surat dengan dalih ‘pencocokan nama’.

“Sosialisasi pertama itu deadlock. Konsultasi publik juga deadlock. Kemudian ada pernyataan dari BBWSO bahwa akan pindah alternatif lokasi jika warga bersikukuh menolak. Kemudian ada rencana dikaji ulang dan lain sebagainya. Tapi nyatanya tidak pernah terjadi itu semua,”ujar Muhammad Azim, warga  Desa Wadas.

Izin Penetapan Lokasi

Beredar unggahan video yang menayangkan warga di Desa Wadas, Purworejo yang di kepung ratusan polisi saat sedang bermujahadah di masjid menuai kritikan publik. [Instagram @wadas_melawan]

Gubernur Ganjar Pranowo kemudian menandatangani surat keputusan Nomor 590/41 tahun 2018 tentang Persetujuan Penatapan Lokasi Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Purworejo dan Wonosobo. SK izin penetapan lokasi (IPL) tersebut berlaku 2 tahun.  

Merujuk pada UU No 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, Gubernur seharusnya membentuk tim untuk mengaji penolakan warga. Tapi menurut warga Wadas, kewajiban tersebut tidak pernah dilaksanakan.

5 Juni 2020, masa berlaku IPL tambang batu andesit di Desa Wadas habis. Gubernur kemudian menerbitkan SK perpanjangan bernomor 538/29 tahun 2020 yang berlaku sampai Juni 2021.

“Hal ini yang menyebabkan BBWSO kejar target menyelesaikan pembebasan tanah sebelum masa berlaku perpanjangan IPL habis pada Juni 2021,” ujar Azim.

Pemrakarsa proyek memangkas atau meniadakan banyak tahapan pembebasan lahan. Jumlah ganti rugi misalnya belum pernah disosialisasikan. Warga hanya mendengar simpang siur nominal ganti rugi tanah sebesar Rp150 ribu per meter.

Konsultasi publik berjalan satu arah, dimana pemrakarsa proyek hanya mencocokan data kepemilikan lahan. Tidak ada dialog atau itikad mencari jalan tengah bagi warga yang masih menolak.

“Warga tahunya konsultasi publik itu 2 arah. Mereka tanya, kita juga tanya. Tapi ini kami seperti tidak dikasih waktu untuk bertanya. Bukan dialog. Monolog itu. Akhirnya kita buat warga deadlock kembali," ungkap dia.

Teror dan Intimidasi

Puncaknya pada 23 April 2021, BBWSO, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dengan dikawal polisi dan TNI memaksa memasang patok trase di Desa Wadas.

Warga yang mengetahui rencana tersebut berkumpul di Masjid Nurul Huda, Dusun Krajan. Warga yang mayoritas ibu-ibu menggelar doa bersama di masjid.

Sekitar pukul 11.00 WIB, puluhan polisi dan TNI mulai masuk ke Desa Wadas. Warga menghadang dengan cara merobohkan beberapa pohon. Polisi memaksa masuk serta membuka jalan menggunakan gergaji mesin.

Sekitar pukul 11.30 terjadi bentrokan. Warga dan beberapa mahasiswa yang bersolidaritas ditangkap. Aparat juga memukul warga termasuk ibu-ibu yang sedang bersholawat di barisan paling depan.

Peristiwa bentrokan ternyata tidak juga menghentikan pemerintah untuk melanjutkan proses membuka lahan pertambangan di Desa Wadas. Gubernur bahkan meneken SK perpanjangan IPL pengadaan tanah pada 7 Juni 2021.

Warga menggugat SK perpanjangan izin pengadaan tanah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Pengadilan menolak gugatan warga yang ditindaklanjuti dengan pengajuan kasasi pada 14 September 2021.

Sepanjang Agustus hingga September 2021, situasi di Desa Wadas memanas karena petugas BPN memaksa mengukur tanah warga yang berada di hutan. Mereka diam-diam masuk ke hutan dan melakukan pematokan.

Patroli polisi bersenjata lengkap kian masif masuk ke Desa Wadas, sehingga menimbulkan ketakutan warga. Pada 15 Januari 2022, tersebar pesan intimidasi yang berisi ancaman pidana bagi warga yang menghalangi petugas BPN mengukur tanah.

Sekitar tanggal 6-7 Februari 2022, terlihat konsentrasi polisi dalam jumlah besar di Lapangan Kecamatan Bener. Sejumlah tenda didirikan menandakan personel akan berada di lokasi untuk waktu cukup lama.

Keesokan harinya, tanggal 8 Februari sekitar pukul 09.00 WIB, 10 truk polisi merayap memasuki Desa Wadas. Diikuti beberapa mobil patroli dan unit khusus anjing pelacak (K9).

Mereka mengawal 10 tim petugas BPN dan Dinas Pertanian yang akan mengukur serta menginventarisir tanaman di lahan yang akan dijadikan lokasi tambang.

Polisi menangkap 67 orang dengan dalih mencegah bentrok antara warga yang mendukung dan kontra pertambangan. Diantara mereka terdapat anak dan remaja berusia 15-17 tahun.

Meski mereka yang ditahan telah dibebaskan, selama penangkapan warga mengaku menjadi korban pemukulan aparat. Kaum ibu dan lansia yang sedang menggelar mujahadah sempat tertahan selama berjam-jam di dalam masjid.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More