Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 22 Juni 2022 | 13:04 WIB
Kawasan Candi Borobudur yang menyediakan oleh-oleh untuk para wisatawan yang datang. [Suara.com/Angga Haksoro Ardi]

SuaraJawaTengah.id - Candi Borobudur digadang-gadang bakal menjadi wisata super prioritas. Fasilitas dengan teknologi pun mulai dibangun di kawasan candi, lalu bagaimana nasib masyarakat sekitar?

Beberapa kali Kartini menyeka pipinya yang basah dari air mata. Di matanya yang berkaca-kaca, membayang kecewa sekaligus harapan. 

Siang itu, di rumahnya di Dusun Bumisegoro, Desa Borobudur, orang tua tunggal beranak dua ini menceritakan kisahnya. Dia meminta namanya disamarkan.   

"Suami saya meninggal tahun 2018. Alhamdulilah anak saya yang pertama jualan di area relokasi. Cuma ikut orang. Anak kedua sudah lulus SMEA. Kalau saya memang cuma di Borobudur saja," kata Kartini.

Baca Juga: Unggah Editan Foto Stupa Menyerupai Wajah Jokowi, Roy Suryo Resmi Dilaporkan ke Polda Metro Jaya

Ketika Borobudur tutup akibat pandemi hingga kembali buka dengan pembatasan, Kartini tak pernah beranjak dari usahanya: Mengasong kaos di kompleks Candi Borobudur.

"Saya aslinya cuma di Taman (Taman Wisata Candi Borobudur). Waktu Covid kan nggak boleh. Saya nyari di luar itu di depan Bu Sum. Pertigaan masuk pintu 1."

Selama Covid, asongan yang semula mengais rezeki di zona II kompleks candi diminta sementara tidak berjualan. Sebanyak 340 asongan yang menamakan diri pedagangan 14 komoditas atau K14 itu terpencar.

Sebagian mengikuti arus turis ke balkondes-balkondes. Sebagian lagi memilih bertahan di sekitar candi.        

"Di situ nunggu tamu yang datang. Panas-panas jualan di situ kalau ada tamu ditawarin. Ada (asongan) yang naik VW ikut ke balkondes-balkondes. Tapi saya nggak bisa kayak begitu. Cuma nunggu saja di pintu."

Baca Juga: PUPR Garap 42 Paket Pembangunan Kawasan Borobudur Senilai Rp2,27 Triliun

Dua tahun pandemi bagi Kartini terasa begitu lama dan menyiksa. Sebagai tulang punggung keluarga, sendirian Kartini harus berjuang mencari suapan nasi untuk anak-anaknya.

Pendapatan Kartini semakin tipis karena jumlah turis yang berkunjung ke Candi Borobudur jauh berkurang. Ibaratnya, bisa mendapat uang untuk membeli beras saja sudah bersyukur.     

"Kadang laku kadang nggak. Ada juga yang cuma ngasih uang tapi nggak beli. Ya 1001 orang ada yang kasihan gitu. ‘Jualannya sampai gitu ya bu. Pantang menyerah. Tulang punggung keluarga. Nggak papa bu yang penting halal'."

Kartini menawarkan kaos Borobudur dagangaannya kepada wisatawan. Berebut rupiah di area berdagang dan parkir kompleks Candi Borobudur. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

Habis Covid Terbitlah Larangan Asongan

Ibarat badai, perlahan Covid mereda. Menjelang libur Lebaran kemarin para asongan berharap akhirnya bisa kembali berjualan.

Tapi apa mau dikata. Pertemuan dengan manajemen PT Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB) sebelum Lebaran itu, justru menghasilkan putusan asongan dilarang berjualan sama sekali di tempat semula.

Dari tempat berdagang di depan Museum Karmawibhangga, para asongan diperintahkan pindah ke zona luar kompleks candi. Bergabung dengan pedagang lainnya di area pedagang dan asongan, dekat lokasi parkir.

"Sekarang gabung sama pedagang lain. Jadi ‘cendol’ di bawah (area parkir). Sekarang yang (jualan) di atas, pindah ke bawah. Yang di bawah juga jadi gimana gitu. Soalnya lahannya kan jadi satu, repot juga."

Dulu saat berjualan di zona II dalam, Kartini dan teman-temannya mendapat kesempatan pertama “menyapa” turis yang  baru turun dari pelataran Candi Borobudur.

Mereka menawarkan barang sambil mengikuti turis yang berjalan menuju pintu keluar. Berdasarkan pengalaman berdagang selama bertahun-tahun, mereka yakin cara ini paling jitu mengungkai receh dari kantong para wisatawan.

Itu sebabnya 340 pedagang asongan anggota K 14 memilih tetap mengasong meski dulu pernah ada tawaran untuk menempati lapak berdagang. 

Saling Injak Pedagang Kecil

Para pedagang asongan mengeluhkan manajemen alur masuk dan keluar pengunjung Borobudur yang tidak menguntungkan mereka. Turis sudah melewati beberapa titik berjualan sebelum tiba di pintu keluar.

Area-area dagang itu menjual jenis barang yang sama dengan yang dijajakan para asongan dan kaki lima di dekat area parkir. Saat tiba di area parkir, hanya sisa-sisa saja minat wisatawan untuk berbelanja.

Asongan yang ditempatkan setelah pintu keluar masih harus bersaing dengan pedagang lapak kaki lima dan asongan dari kelompok lain.   

Kartini juga mengeluhkan soal "banting" harga yang menurutnya menyebabkan persaingan tidak sehat sesama pedagang.

"Di pasar harganya sudah ‘remuk’. Enam kaos ditawarkan Rp100 ribu. Bahkan ada yang menjual 7 kaos Rp100 ribu."

Kartini mengaku membeli kaos pada juragan seharga Rp14 ribu per kaos. Dia biasanya menjual dengan sistem borongan Rp100 ribu untuk 6 helai kaos.

Berarti dari satu pembeli, Kartini mendapat untung sekitar Rp16 ribu. "Kan kasihan yang sini. Sudah di pintu keluar terakhir, harganya diremuk kayak begitu."

Bukan semakin untung, semenjak dipindah ke luar zona II pendapatan Kartini malah ‘buntung’. Hasil dari berjualan kaos Borobudur hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Gadai Motor untuk Makan  

Kartini terpaksa menggadaikan motor miliknya senilai Rp 3 juta untuk menutup kebutuhan makan dan biaya sekolah anaknya.

"Gadai nggak papa, nanti kalau ada uang lagi bisa ditebus. Ternyata.. (suara Kartini tercekat di kerongkongan). Sampai sekarang belum saya ambil. Saya nggak malu, memang begitu keadaan saya."

Tapi yang bikin kesal, saat asongan dilarang berjualan di zona II, masih banyak aktifitas komersil dilakukan di area tersebut. Gerai minuman dan makanan, kafetaria, serta sewa kendaraan Tayo masih lancar jaya beroperasi.

Padahal alasan asongan diperintahkan keluar dari zona II Borobudur karena area itu katanya diperuntukan untuk tempat pertunjukan seni dan budaya. Juga sebagai kawasan penyangga konservasi Borobudur.

Belum jelas siapa pemilik gerai makan dan minum di zona II Borobudur. Saat hal ini ditanyakan kepada manajemen PT Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB), jawabnya mereka akan memeriksanya lebih dulu.

Kampung Kaki Lima

Sejak dulu hubungan Candi Borobudur dengan para pedagang asongan ibarat gula yang mengundang semut. Ada yang menyebut 1.575 pedagang lapak dan 1.595 asongan menjejali area parkir dan pedagang seluas 8,4 hektare itu.

Tanpa penataan yang tepat, para pedagang ini menyimpan potensi gesekan konflik yang kontra produktif dengan tujuan pariwisata. Selama ini para pedagang dan asongan minim dilibatkan saat mengambil kebijakan soal penataan.

Saat memutuskan melarang asongan berjualan di zona II misalnya, mereka tidak diajak berdialog terlebih dahulu. Menurut para pedagang, keputusan itu muncul begitu mendadak.  

"Istilahnya koyo dibedil. Langsung tembak saja. Sudah nggak ada hati sama sekali," kata Kartini.  

Padahal dengan sedikitnya 3.170 orang yang mengais rezeki di kompleks Borobudur, pedagang dan asongan sudah bisa digolongkan sebagai kampung tersendiri.  

Area "kampung kaki lima" ini membutuhkan kebijakan penataan yang sama rumitnya dengan mendesain kampung pada umumnya. Tidak ada rencana perbaikan kampung dapat berhasil, tanpa partisipasi masyarakat miskin di wilayah tersebut.

Para pedagang dan asongan harus diintegrasikan dalam proses perencanaan dan kampanye untuk lingkungan yang lebih baik.

Peran partisipatif para pedagang dan asongan ini yang juga harus diperhatikan dalam rencana memindahkan mereka ke zona III, Lapangan Kujon seluas 10,74 hektare.

"Kami cuma minta keadilannya bagaimana. Kasihan yang nggak punya, pendapatan harianya dari situ. Kalau dibanding sama keuntungan pengelola, nggak ada seujung kuku."

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More