Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Jum'at, 01 Juli 2022 | 18:19 WIB
Tiga warga Desa Sumbewuluh, Kecamatan Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Supangat, Masbud dan Nur Holik berjalan kaki melintasi Alun-alun Purwokerto, Jumat (1/7/2022). [Suara.com/Anang Firmansyah]

SuaraJawaTengah.id - Jalan terjal yang harus dilalui tiga warga Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur telah sampai di wilayah Purwokerto, Kabupaten Banyumas.

Mereka melakukan aksi jalan kaki dari desanya menuju Istana Negara untuk menemui Presiden Joko Widodo. 

Mereka adalah Supangat (52), Nor Holik (41) dan Masbud (36). Ketiga warga ini sebelum singgah di Purwokerto memulai perjalanan dari Yogyakarta pada dua hari lalu.

Sesampainya di Purwokerto pada hari Kamis (30/6/2022) sekitar pukul 20.00 WIB mereka bermalam di kantor Balai Wartawan PWI Banyumas.

Baca Juga: Bukan Soal Kedekatan, Perbedaan Meja Putin saat Bertemu Jokowi dan Presiden Negara Lain Tenyata Punya Alasan Tersendiri

Di sela istirahatnya, Pangat, Holik dan Masbud menceritakan maksud dari aksi ini. Menurut Ketua Paguyuban Peduli Erupsi Semeru Lumajang, Holik, aksi ini dimulai dari 11 hari lalu.

Ia bersama kedua rekannya kecewa karena merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah. Aksi protes ini sudah dilakukan sejak tahun 2020 sebelum Gunung Semeru erupsi.

"Sejak tahun 2020, kami telah memprotes cara penambangan pasir di Kali Regoyo yang tidak sewajarnya. Perusahaan tambang membuat tanggul-tanggul dengan cara melintang di tengah- tengah sungai, bahkan mereka membuat kantor di tengah daerah aliran sungai yang berpotensi membelokkan aliran banjir lahar dingin ke daerah pemukiman warga," katanya saat ditemui di Balai PWI Banyumas tempatnya bermalam, Jumat (1/7/2022).

Menurut Holik, perusahaan penambang pasir ini melakukan penanggulan untuk menghambat dan menampung pasir yang terbawa banjir.

Tanggul dibuat melintang selebar sungai dengan ketinggian hingga 4 meter, sama dengan ketinggian tanggul pengaman banjir pada sebadan sungai yang dulu dibangun oleh Pemerintah Soeharto pada tahun 1970.

Baca Juga: Vladimir Putin Sampaikan Rusia Ingin Garap Proyek Energi Nuklir di Indonesia

"Kami sudah melapor kepada pihak kepala desa, polsek, polres, hingga ke pemerintah Kabupaten Lumajang. Bahwa cara penambang membuat tanggul-tanggul pada sungai itu membahayakan keselamatan kami. Namun, laporan dan kekhawatiran kami tidak ditanggapi hingga saat ini," paparnya.

Pangat sebagai penginisiasi aksi ini juga merasakan hal serupa. Ia malah berangkat terlebih dahulu secara senyap pada, Selasa (21/6/2022) sekitar pukul 02.30 WIB. Niatannya ini tergolong nekat. Karena dilakukan secara mendadak dan bermodalkan uang saku secukupnya serta tas berukuran sedang.

Mendengar Pangat akan berjalan kaki demi menemui Presiden Jokowi, kemudian Masbud menyusul Pangat yang saat itu sudah sampai di wilayah perkotaan Lumajang. Hingga akhirnya mereka memulai jalan panjang.

Sesampainya di Yogyakarta, Nor Holik kemudian menyusul menggunakan kendaraan dan bersama-sama melanjutkan perjalanan bertiga.

Pangat menjelaskan sejak dahulu warga Sumber Wuluh sudah merasa khawatir, jika sewaktu-waktu Kali Regoyo banjir dengan membawa lahar dingin akan meluap ke perkampungan.

Pada awal tahun 2021 sudah sempat terjadi luapan pasir ke arah perkampungan, namun perusahaan penambang tidak mengindahkan ancaman bahaya itu.

"Kami memprotes dan mengadukan hal ini berkali-kali kepada aparat keamanan dan pemerintah. Tapi tidak pernah ada tanggapan dan tindak lanjut," akunya.

Kekhawatiran warga ini akhirnya terjadi pada 4 desember 2021 lalu saat Gunung Semeru Erupsi. Desa Sumber Wuluh tertimbun oleh guguran pasir Gunung Semeru.

"Seandainya protes kami dulu didengarkan, mungkin desa kami tidak tertimbun oleh pasir. Sekalipun juga terdampak, kami menduga tidak akan separah sekarang dan menimbulkan banyak korban jiwa. Inilah yang kami protes, kami menuntut keadilan. Tolong lindungilah warga dari ancaman bencana Pak Presiden," ungkap Pangat

Kewenangan perijinan perusahaan penggalian pasir (Galian C) sekarang kewenangannya ada di pemerintah pusat.

Karena itu mereka yang mewakili warga terdampak berharap agar Pemerintah Pusat menindak tegas pelakupenambangan yang mengabaikan keselamatan lingkungan dan keselamatan warga.

"Kami tidak menentang penambangan pasir, silahkan saja. Tapi tolong, perhatikan keselamatan ladang dan keselamatan masyarakat sekitar," imbuhnya.

Paguyuban Peduli Erupsi Semeru setelah kejadian erupsi lalu, juga telah mengadukan ke DPRD Kabupaten Lumajang. Namun tidak ada kepastian yang didapat.

"Kami kemarin mengadukan ke DPRD Lumajang yang katanya akan membuat panitia khusus untuk menyelelidiki, tapi hingga saat ini tidak ada tindak lanjut apa-apa. Kami juga mengadu ke Bupati Lumajang, tetapi juga tidak pernah ditanggapi. Nggak tahu kenapa," ujarnya.

Di tengah perjalanan, sempat terlintas keinginan untuk berhenti karena mereka bertiga mendapat informasi tentang adanya teror yang akan menimpa.

"Sempat kepikiran (berhenti) karena kawan saya ini menerima informasi ada teror dari Lumajang. Katanya hati-hati jangan kirim video dan foto karena sampeyan akan ditabrak lari. Saya sempat berhenti dan minggir sebentar. Setelah situasi aman saya lanjut jalan lagi," ungkapnya.

Saat ini, mereka bertiga sudah melanjutkan perjalanan menuju Jakarta dari Purwokerto. Mereka mulai berjalan sejak pukul 13.30 WIB. Ia mengaku tidak menargetkan berapa hari sampai Jakarta.

"Yang penting jalan terus saja tidak pernah menargetkan. Setelah dari sini mungkin saya akan istirahat di Cirebon. Kalau capek ya berhenti sebentar," tegasnya.

Kontributor : Anang Firmansyah

Load More