Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 28 September 2022 | 13:30 WIB
Kondisi saat ini eks kamp tahanan perempuan yang kini menjadi wisata pemandian air panas. [Suara.com/Aninda Putri]

SuaraJawaTengah.id - Tanah lapang dengan rumput hijau terhampar disebelah sungai Lampir yang membelah dua kabupaten Batang dan Kendal.

Hamparan tanah lapang yang kini menjadi kawasan wisata pemandian air panas tersebut terletak di Desa Sangubanyu, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang menyimpan segudang kisah kelam dipenghujung tahun 70 silam.

Area tersebut merupakan bekas kamp tawanan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani ) yang kerap disebut dengan kamp Plantungan.

Berada di daerah lembah dan dikelilingi pepohonan yang rimbun, dengan derunya sungai Lampir, seolah membungkam tragedi pasca pecahnya pembantaian 7 jendral, yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S) pada 1965.

Baca Juga: Nahas! Kepala Kantor Kemenag Tewas Gantung Diri di Gudang Samping Rumah

Warga Desa Sangubanyu, Sukarni (53) ingat betul kenangan kala dirinya masih  berusia 10 tahun. Kala itu, ia kerap berinteraksi dengan sejumlah perempuan yang dianggap sebagai Gerwani dan ditawan di kamp Plantungan tersebut.

"Dulu ketika saya kecil sering main jalan-jalan ke bawah ,di sekitar penjara itu ada kaya aparat yang jaga pakai seragam sama bawa senjata," ungkap Sukarni beberapa waktu lalu kepada SuaraJawaTengah.id

Ia menceritakan, selain dijaga ketat oleh aparat, kamp plantungan tersebut dikelilingi oleh kawat berduri mengitari seluruh penjara.

Kala itu, ia bersama teman-teman masa kecilnya tak berani mendekat ke area kamp. Namun, ia bisa melihat aktivitas para tahanan perempuan dari atas bukit.

"Itukan bawah dekat sungai ya, kita tidak berani turun karena ada yang jaga. Ya cuma liat kegiatan mereka aja dari atas," ungkap Sukarni.

Baca Juga: Beredar Narasi: PKI Siapkan Anggaran Rp 5 Trilyun untuk Memuluskan Presiden Jokowi 3 Periode, CEK FAKTA !

Saksi hidup kegiatan tahanan perempuan yang dianggap anggota Gerwani, Sukarni (53) warga Desa Sangubanyu, Kabupaten Batang. [Suara.com/Aninda Putri]

Sukarni menuturkan, kegiatan para perempuan yang berada di kamp plantungan diisi dengan berkarya, seperti menjahit hingga berkesinan seperti latihan tari tradisional dan pementasan wayang. 

"Dulu waktu kecil suka lihat mereka lagi ada latihan tradisional sampe pagelaran wayang dari luar penjara," tuturnya. 

Ia melanjutkan, selama melakukan sejumlah aktifitas di kamp, para perempuan tahanan juga beberapa kali berinteraksi dan ramah terhadap warga sekitar. 

 Sukarni menuturkan , ia bersama teman-teman masa kecilnya pernah menerima baju dari hasil jahitan para tahanan perempuan tersebut. 

"Bahkan saat suami saya kecil sering diberikan baju hasil jahitan perempuan yang di tahan disana, suami saya kan juga asli sini," jelas Sukarni.

Sukarni mengaku, meski dahulu ia kerap berinteraksi dengan para tahanan di kamp plantungan. Ia tak mengetahui, sebab para perempuan tersebut ditahan di daerah terpencil seperti desanya. 

Menurut Sukarni, informasi yang beredar di warga sekitar pada tahun 70an, perempuan-perempuan tersebut ditahan lantaran dianggap sebagai PKI.

"Mereka itu baik-baik, tapi kami warga tidak tahu kenapa bisa sampai disini, tahunya dulu itu PKI gitu," katanya. 

Karena ramahnya para tahanan tersebut, Sukarni masih terngiang salah satu nama tahanan yang pernah bertemu dengannya, sebelum mereka meninggalkan penjara sempat berpamitan dengan warga sekitar. 

"Ada yang bernama bu Endang saya masih ingat, ia sangat ramah, Beberapa waktu lalu saya sempat dipertemukan, dan ia masih ingat juga dengan saya," tutur Sukarni.

Di tempat pesakitan tersebut para perempuan yang dianggap sebagai anggota Gerwani dikurung hingga 1979, untuk kemudian dibebaskan dan dipulangkan ke daerah masing-masing. 

Kini sebagian bangunan sudah beralih fungsi menjadi tempat wisata pamandian air panas, yang ada di Desa Sangubanyu, namun masih bisa ditemukan puing-puing bekas penjara seperti fondasi yang sudah berumur setengah abad lebih.  

Kontributor : Aninda Putri Kartika

Load More