
SuaraJawaTengah.id - Keramaian massa tak seindah atau seaman dulu yang sepertinya harus dikatakan sekarang ini. Berkeruman dan berdesakan kini bisa menjadi malapetaka.
Tragedi kanjuruhan misalnya, menonton pertandingan bola dengan jumlah penonton yang banyak tentu saja akan memberikan kekhawatiran setiap orang di massa yang akan datang. Keselamatan pun harus menjadi pertimbangan.
Terbaru adalah Tragedi Halloween di Distrik Itaewon, Seoul, Korea Selatan, yang menewaskan lebih dari 150 orang. Hal itu menjadi bukti, mengumpulkan massa usai pandemi Covid-19 belum menjadi hal yang aman dilakukan.
Hingga festival musik Berdendang Bergoyang di Jakarta yang kelebihan kapasitas pun terpaksa dibubarkan. Sebab membuat puluhan penonton pingsan.
Peristiwa tersebut menjadi bukti semakin pentingnya manajemen keselamatan massa dalam acara yang mengundang keramaian. Apalagi setelah berbagai kelonggaran diterapkan pada tahun kedua pandemi Covid-19, orang-orang mulai kembali beraktivitas di luar ruang, di tengah kerumunan.
Berbagai acara, seperti konser musisi dalam dan luar negeri juga kembali digelar di Indonesia.
Menyadur dari BBC Indonesia, Pengamat sosial Devie Rahmawati mengatakan antusiasme masyarakat dunia adalah hal yang wajar karena selama ini manusia seakan dikurung dan dibebaskan.
Menurutnya pandemi telah mencabut kemanusiaan manusia yang merupakan makhluk sosial. Ditambah lagi kita adalah masyarakat komunal yang terbangun dari semangat kebersamaan.
Sehingga apa yang dilakukan orang-orang, memadati agenda-agenda publik, adalah hal yang dinilai “wajar” dan “alamiah”.
Baca Juga: Calon Perawat Ini Tewas dengan Organ Tubuh yang Rusak Parah di Tragedi Itaewon
"Tetapi yang perlu diwaspadai adalah bagaimana mengelola hasrat ‘balas dendam’ ini agar tetap dalam koridor yang aman, nyaman, dan memperhatikan keselamatan," kata Devie pada Senin (31/10/2022).
Namun, kata Devie, para penyelenggara acara tidak boleh memanfaatkan situasi ini untuk meraup untung sebanyak-banyaknya dan mengabaikan keamanan serta keselamatan.
Dia menambahkan, hal itu menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara karena berdasarkan psikologi massa: manusia menjadi tidak rasional ketika berada dalam massa, "hanya hanyut dalam perasaan kesenangan, kegembiraan, sehingga tidak bisa berpikir secara jernih".
"Mereka yang harus mempersiapkan skenario-skenario agar kemudian semua orang yang berpartisipasi itu dapat kembali pulang dengan aman," ujar Devie.
Keselamatan lebih utama
Ketua Program Studi Keamanan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja (K3) Universitas Indonesia, Dr Zulkifli Djunaidi, mengatakan, hal yang terjadi di festival musik Berdendang Bergoyang membuktikan bahwa warga Indonesia "belum melek" isu manajemen keselamatan massa.
Berita Terkait
Terpopuler
- Usai Jokowi, Kini Dokter Tifa Ungkit Ijazah SMA Gibran: Cuma Punya Surat Setara SMK?
- 8 Promo Kuliner Spesial HUT RI Sepanjang Agustus 2025
- Jay Idzes Pakai Jam Tangan Rolex dari Prabowo saat Teken Kontrak Sassuolo
- Kumpulan Promo Jelang 17 Agustus 2025 Rayakan HUT RI
- Gibran Cuma Lirik AHY Tanpa Salaman, Sinyal Keretakan di Kabinet? Rocky Gerung: Peran Wapres Diambil
Pilihan
-
Bupati Pati Bisa Susul Nasib Tragis Aceng Fikri? Sejarah Buktikan DPRD Pernah Menang
-
4 Rekomendasi Tablet Murah untuk Main Game Terbaru Agustus 2025
-
Api Perlawanan Samin Surosentiko Menyala Lagi di Pati, Mengulang Sejarah Penindasan Rakyat
-
4 Rekomendasi HP Murah Chipset Snapdragon Gahar, Harga mulai Rp 2 Jutaan Terbaru Agustus 2025
-
Grup Emiten Boy Thohir Disebut Dapat Diskon Tak Wajar atas Pembelian Solar di Pertamina
Terkini
-
Bukan Cuma Hoki, 3 Weton Ini Punya 'Modal' Jadi Sultan Sejak Lahir Menurut Primbon Jawa
-
Demo Pati Berakhir Ricuh: 64 Orang Terluka Termasuk Polisi, Tak Ada Korban Jiwa
-
Jejak Dosen UGM HU: Diduga Otaki Korupsi Kakao Fiktif Rp7 Miliar di Perusahaan Milik Kampus
-
Demo Anarkis di Pati, 11 Orang Diduga Provokator Diciduk Polisi
-
Polisi Bantah Isu Korban Tewas Demo Ricuh di Pati, Fakta di Lapangan: Puluhan Orang Terluka