Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 17 November 2022 | 08:48 WIB
Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan tentang PMK di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu (22/06/2022). [Kontributor / Putu Ayu Palupi]

SuaraJawaTengah.id - Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah semakin hangat dibicarakan. Narasi-narasi kepentingan partai untuk bisa memenangkan pesta demokrasi lima tahunan itu pun mulai dirasakan.  

Namun demikian, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir berharap pemilu 2024 diharapkan bukan hanya dimaknai sebagai kontestasi politik. Menurutnya pasca reformasi, Indonesia sudah harus menempatkan diri dalam proses transformasi kebangsaan.

Ia mengingatkan, bahwa siapapun yang nantinya menjadi calon presiden maupun wakil presiden, calon anggota legislatif baik di tingkat nasional maupun daerah, hingga kelembagaan terkait pemilu, harus membuka kembali lembaran konstitusi dan sejarah bangsa.

"Para calon ini harus memahami betul bahwa Indonesia bukan hanya soal kemenangan politik, tetapi nilai dan cita-cita kebangsaan yang telah diletakkan sejak awal oleh para pendiri bangsa ini," kata Haedar dikutip dari situs resmi Muhammadiyah pada Kamis (17/11/2022).

Baca Juga: Nomor Urut Parpol Tak Diubah Lagi, Ini Urutannya di Pemilu 2019

Muhammadiyah, ungkap Haedar, akan menawarkan visi karakter bangsa, konsep Indonesia berkemajuan, dan dokumen Negara Pancasila Darul ‘Ahdi wa Syahadah sebagai perspektif bagi para calon.

Perspektif tersebut menjadi penting, imbuh Haedar, untuk mencegah terjadinya disorientasi politik: ingin meraih kekuasan tetapi lupa pada pondasi kehidupan berbangsa.

Momentum Pemilu 2024 juga menjadi perhatian ‘Aisyiyah selaku organisasi perempuan berkemajuan. Tri Hastuti selaku Steering Committee Muktamar 48 ‘Aisyiyah, menyampaikan, bahwa ‘Aisyiyah mendorong agar pelaksanaan Pemilu 2024 menunjukkan demokrasi yang substansial tidak semata bersifat procedural.

Tri juga menekankan pentingnya proses pemilu yang berkeadaban bagi penyelenggara maupun pemilih. Belajar dari pemilu terdahulu, politik pragmatis, politik uang, oligarki politik, hingga politik identitas yang menguat masih mewarnai penyelenggaraan pemilu.

Penyelenggaraan pemilu, terang Tri, bagaimana pun akan mencerminkan kualitas demokrasi bangsa kita. ‘Aisyiyah pun berharap, tambah Tri, pemimpin yang dilahirkan betul-betul memiliki sikap kenegarawan dan memperhatikan suara perempuan serta memberi kesempatan pada semakin banyak perempuan di lembaga eksekutif maupun pengambil kebijakan.

Baca Juga: Sehari Setelah Penetapan Tersangka Atap Ambruk, Kok Bisa Pelaku Mengunjungi Keluarga Korban untuk Damai

Terkait kepemimpinan Indonesia ke depan, Haedar menyebut pentingnya perpaduan antara kepemimpinan transformasional yang mengagendakan perubahan dengan kepemimpinan yang bersifat nilai, bukan berdasar kharisma semata.

"Siapapun yang terpilih nanti, setelah jadi presiden maupun jadi anggota legislatif, semua harus milik rakyat, itulah pemimpin yang berkeadilan sosial," terangnya.

Kepemimpinan berbasis primordialisme, jelas Haedar, hanya akan menghasilkan kepemimpinan perkauman, bukan kepemimpinan kenegarawan.

Saat disinggung tentang kepemimpinan mendatang di Muhammadiyah sebagai salah satu agenda Muktamar, Haedar menjelaskan, kepemimpinan di Muhammadiyah adalah perpaduan dari kepemimpinan yang bersifat kolektif kolegial dan sistem.

Ibarat kesebalasan, ungkap Haedar, yang terpenting adalah irama permainannya.

"Tidak cukup bertabur bintang, kalau striker semua, ga ada gelanggang dan back yang bagus, ya sering kalah," jelasnya.

Ia menambahkan, di atas kolektif kolegial adalah sistem yang menjadi kekuatan dari kepemimpinan itu sendiri. Kepemimpinan di Muhammadiyah akan dipilih oleh anggota Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah sebagai representasi anggota Muhammadiyah di muka bumi.

"Kita percayakan kepada mereka yang sudah terlatih untuk memilih dengan kematangan dan pemahaman, juga sistem organisasi yang dimiliki akan punya kearifan sendiri," papar Haedar.

Nantinya dalam Tanwir Muhammadiyah, jelas Haedar, dari 92 calon yang ada, akan dipilih 39 calon. Selanjutnya dari 39 calon tersebut, dalam Muktamar, akan dipilih hingga terdapat 13 calon yang akan menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan memilih ketua umum.

Calon Ketua Umum tersebut nantinya akan dibawa ke sidang pleno Muktamar untuk disahkan. Sedikit berbeda dengan Muhammadiyah, Shoimah selaku panitia pemilihan menjelaskan bahwa dalam sidang Tanwir ‘Aisyiyah akan memilih 39 nama dari 105 calon yang telah diseleksi oleh panitia pemilihan ‘Aisyiyah. Selanjutnya, dalam sidang Muktamar akan ditawarkan kepada muktamirin, apakah akan memilih 13 calon secara langsung atau secara formatur.

Biasanya, ungkap Shoimah, anggota muktamar ‘Aisyiyah meminta secara formatur yang kemudian akan memilih Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah.

Load More