SuaraJawaTengah.id - Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, terdapat banyak pahlawan yang berasal dari kalangan perempuan.
Para pahlawan perempuan yang tangguh tersebut berasal dari berbagai daerah.
Mereka berjuang demi Indonesia dengan caranya masing-masing.
Dari Jawa Tengah sendiri ada banyak pahlawan perempuan. Mereka juga berjuang dengan cara yang berbeda-beda.
Namun, hal itu tidak mengurangi rasa juang mereka terhadap kemerdekaan Indonesia. Berikut ini adalah 3 tokoh perempuan di Jawa Tengah yang menjadi Pahlawan Nasional.
Nyi Ageng Serang lahir sekitar tahun 1762 di Desa Serang, sekitar 40 km sebelah utara Surakarta dekat Purwodadi, Jawa Tengah. Nyi Ageng Serang sendiri masih keturunan Sunan Kalijaga. Ayahnya adalah Pangeran Ronggo Seda Jajar yang dijuluki Panembahan Senopati Notoprojo.
Pada awal Perang Diponegoro tahun 1825, Nyi Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda. Selain itu, ia juga menjadi penasihat perang.
Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang. Nyi Ageng Serang kemudian menghembuskan napas terakhirnya di Yogyakarta pada tanggal 10 Agustus 1855 dan dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo.
Baca Juga: Kisah Masa Kecil Ki Hajar Dewantara, Ini Semangatnya yang Harus Ditiru!
Di antara keturunannya juga merupakan seorang Pahlawan Nasional, yakni Soewardi Soerjaningrat yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.
2. RA Kartini
Namanya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Wanita yang lahir di Jepara pada 21 April 1879 ini merupakan putri dari Bupati Jepara pada saat itu, yakni Raden Mas Adipati Arya Sosroningrat. Sementara itu, ibunya adalah M.A Ngasirah yang merupakan putri dari tokoh agama yang disegani,, yakni Kyai Haji Madirono.
Meski ia telah menghembuskan napas terakhirnya pada tahun 1904, akan tetapi perjuangannya terus dilanjutkan. Berkat perjuangannya itulah pada tahun 1912, berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang dan kemudian meluas ke berbagai daerah.
Sepeninggal Kartini, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, J.H. Abendanon kemudian mengumpulkan surat-surat Kartini dan mencetaknya menjadi sebuah buku yang berjudul Door Duisternis tot Licht yakni ‘Dari Kegelapan Menuju Cahaya’ pada tahun 1911.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka kemudian menerbitkan buku tersebut dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- Jordi Cruyff Sudah Tinggalkan Indonesia, Tinggal Tandatangan Kontrak dengan Ajax
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
Pilihan
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
Terkini
-
SIG Dukung Batam Jadi Percontohan Pengembangan Fondasi Mobilitas & Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
-
Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Kirim 29 AMT untuk Pemulihan Suplai di Sumatera
-
4 Link Saldo DANA Kaget Jumat Berkah: Raih Kesempatan Rp129 Ribu!
-
Skandal PSSI Jateng Memanas: Johar Lin Eng Diduga Jadi 'Sutradara' Safari Politik Khairul Anwar
-
8 Tempat Camping di Magelang untuk Wisata Akhir Pekan Syahdu Anti Bising Kota