Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Selasa, 30 April 2024 | 17:16 WIB
Kios penitipan motor milik Edi Mulyono (70 tahun) di Terminal Borobudur. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardi).

Putri keduanya lulusan S1 Pendidikan Profesi Kebidanan. Sempat melanjutkan pendidikan S2 Kedokteran Keluarga di Universitas Negeri Surakarta namun tidak selesai.    

“Anak saya nomer tiga mogol mboten lulus kuliah. Gagal dropout. Nomer empat sekarang sekolah S2 di UGM Jurusan Pertanian. Lahiran tahun 1991,” kata Edi Mulyono.

Sekitar tahun 2000, mencari uang di terminal sangat mudah. Rata-rata setiap hari dari jasa penitipan motor, paling sedikit mengantongi uang Rp300 ribu.

Edi mengontrak 4 kios di Terminal Borobudur milik Pemerintah Kabupaten Magelang, dengan biaya sewa masing-masing Rp1,1 juta per tahun. Ditambah beban membayar pajak bumi dan bangunan Rp3,3 juta.

Baca Juga: Potret Umat Buddha Doa Bersama di Candi Borobudur untuk Palestina

Setiap tiga tahun sekali perjanjian hak guna usaha pemanfaatan kios di kawasan Terminal Borobudur diperbaharui. Jika telat membayar sewa, kios akan disita.

“Coba bayangkan kalau tidak ada pemasukan dari salah satu kios ini. Kalau saya tidak tempati setahun kan tetap bayar segitu. Padahal pemasukan tidak ada.”

Titipan Motor Sepi   

Setelah pandemi Covid 19, entah mengapa jumlah titipan motor berkurang drastis. Jika dulu parkiran motor penuh hingga keluar kios, sekarang sehari paling banter Edi hanya menerima 8 motor.

“Itu saja kalau hari Sabtu dan Minggu. Hari-hari biasa ya nggak pasti. Hari ini saja baru ada dua motor yang masuk,” ujar Edi.

Baca Juga: Ini Sejarah Candi Borobudur dan Candi Prambanan, Tonggak Berdirinya Mataram

Di ruang penitipan motor seluas 24 meter persegi, hanya terlihat 2 motor matic terparkir. Sekitar 1,5 jam saya mengobrol dengan Edi, tidak ada satu motorpun yang masuk.

Load More