Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 04 September 2024 | 08:22 WIB
Ilustrasi kampus Universitas Diponegoro Semarang. (ANTARA/Zuhdiar Laeis)

SuaraJawaTengah.id - Kasus tewasnya dr. Risma Aulia Lestari, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di RSUP Dr. Kariadi Semarang, masih belum menemukan titik terang.

Meski dr. Aulia meninggal pada Senin (12/08/2024), dan hasil investigasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah diserahkan ke Polda Jawa Tengah pada, Jumat (30/08/2024), hingga kini belum diketahui penyebab kematiannya.

Dugaan yang muncul adalah Dokter Aulia Risma Lestari bunuh diri lantaran menjadi korban perundungan oleh seniornya di PPDS Anestesi Undip. Indikasi lainnya, almarhumah mengalami depresi, lalu menyuntikkan obat penenang ke tubuhnya sehingga gagal napas dan tewas.

Kasus yang berlarut ini kemudian merembet kemana-mana. Kemenkes melalui surat Nomor: TK.02.02/D/44137/2024 menutup sementara PPDS Anestesi Undip yang ada di RSUP Dr. Kariadi.

Baca Juga: Update Dugaan Perundungan Mahasiswi Undip, Polda Jateng Masih Lakukan Investigasi

Kemenkes juga menenangguhkan aktivitas klinis Yan Wisnu Prajoko, Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Undip di RSUP Dr. Kariadi. Penangguhan itu tertuang dalam surat Kemenkes bernomor TK.02.0/D/44137/2024 pada 14 Agustus lalu.

Publik juga baru-baru ini digegerkan dengan temuan Kemenkes terkait dugaan pemalakan yang menimpa dr. Aulia. Almarhumah disebut dipalak Rp20-40 juta setiap bulan oleh seniornya.

Buka Investigasi Seluas-luasnya

Dekan Fakultas Kedokteran Undip Yan Wisnu Prajoko, seusai mengikuti aksi solidaritas terkait kasus tewasnya dr. Aulia Risma Lestari di Lapangan Basket FK Undip, Senin (2/9/2024). (suara.com/ Sigit AF)

Dekan FK Undip Yan Wisnu Prajoko mengatakan pihaknya membuka ruang investigasi seluas-luasnya untuk mengurai benang kusut kasus tewasnya dr. Aulia.

Menurutnya, Undip telah berkomitmen untuk tidak menutupi kasus ini. Namun, pihaknya berharap bahwa hasil investigasi akan berkeadilan untuk seluruhnya, baik untuk anak didik, pasien, dan institusi.

Baca Juga: Dua Bakal Calon Gubernur dan Wagub Jateng Jalani Pemeriksaan Kesehatan, Ada 65 Dokter RS Kariadi yang Terlibat

"Kalau ada pemalakan itu, kan, berarti ada pelaku, korban, dan uangnya. Jadi dibuka saja, yang memelak siapa, korbannya siapa, dan uangnya kemana, itu diungkap saja. Kami tidak akan menutupi dan kami juga akan memberikan sanksi," katanya saat ditemui SuaraJawaTengah.id, Senin (2/8/2024).

Terkait penangguhan praktik klinisnya di RSUP Dr. Kariadi, dia mengaku baru mengetahuinya pada, Jumat (30/08/2024), meski suratnya telah terbit pada 14 Agustus lalu.

Yan Wisnu sendiri telah 16 tahun bekerja di RSUP Dr. Kariadi. Dia memiliki dua peran diantaranya sebagai dokter spesialis kanker dan dosen untuk pendidikan dokter, dokter spesialis, dan dokter sub-spesialis.

"Tiap minggu saya melayani sekitar 300 pasien, terutama, pasien stadium lanjut," jelas dia.

Dia berharap kasus ini tidak menghilangkan hak pembelajaran mahasiswa PPDS Anestesi Undip. Selain itu, hak pasien  untuk mendapatkan pelayanan yang baik tidak boleh terganggu.

Senior Sebut Iuran, Bukan Pemalakan

Mahasiswa PPDS Anestesi Undip, Aulia Risma Lestari diduga bunuh diri. (X)

Mahasiswa PPDS Anestesi Undip, Angga Rian menanggapi terkait isu pemalakan senior terhadap juniornya. Menurutnya, hal tersebut tidak pernah terjadi, yang ada hanya iuran tiap bulan untuk keperluan makan bersama dan lain-lain.

Dia mengatakan mahasiswa PPDS Anestesi Undip di RSUP Dr. Kariadi sudah ada kesepakatan bersama terkait iuran makan. Dana itu bersumber dari mahasiswa angkatan pertama, sehingga jika sudah naik tingkat keperluan makan akan ditanggung mahasiswa yang baru masuk.

"Tiap angkatan tentu berbeda-beda. Waktu zaman saya iuran Rp 10 juta/bulan. Setelah naik tingkat tidak iuran lagi. Jadi kayak ditumpuk di awal," kata senior dr. Aulia itu saat ditemui SuaraJawaTengah.id, Senin (2/8/2024).

Meski bukan teman satu anggakatan almarhumah, Angga mengenal dr. Aulia sebagai sosok rajin, pintar, dan bertanggung jawab terhadap tugas yang diemban.

"Almarhumah tidak pernah meninggalkan pasien sebelum pasien itu dibawa ke ruang operasi," imbuhnya.

Terkait tekanan pendidikan dokter spesialis, dia mengaku hal tersebut sudah pasti ada. Menurtnya, tekanan pertama bersumber dari diri sendiri dalam menekuni dunia anestesi.

Kedua, lanjut dia, mahasiswa sering kali merasa kelelahan karena tidak ada waktu untuk istirahat.

"Program kerja tidak memberikan waktu untuk istirahat. Bagaimana bisa istirahat kalau pelayanan kesehatan sangat padat," ungkapnya,

Angga menyebut jumlah dokter anestesi di RSUP Dr. Kariadi sebanyak 22 oran, sementara mahasiswa PPDS ada 85 orang, termasuk dr. Aulia.

Perbudakan Atas Nama Pendidikan dan Kesehatan

Guru besar FK Undip Prof Zainal Muttaqin menyesalkan sikap Kemenkes yang menutup PPDS Undip dan menangguhkan praktik klinis Yan Wisnu di RSUP Dr. Kariadi buntut kasus tewasnya dokter Aulia Risma Lestari.

Menurutnya, langkah Kemenkes ini bukanya menyelesaikan masalah, tetap malah menimbulkan masalah baru.

"Menteri ini rusak tata kelolanya bahwa ada yang salah iya, bullying ada, tetapi itu prilaku salah individu atau kelompok individu, bukan perilaku institusi. Kalau terbukti maka yang dihukum adalah individu," paparnya.

Dia mencontohkan jika ada polisi yang melakukan korupsi maka yang dihukum adalah oknumnya, bukan menutup institusinya.

"Ketua MK melanggar etik, tetap jalan tuh MK-nya. Ada kematian mahasiswa STPDN, apakah sekolahnya ditutup? kan, enggak," ungkapnya.

Terkait penangguhan praktek klinis Yan Wisnu Prajoko, dia menduga bahwa ini sikap kritis dekan FK Undip itu  dalam menyikapi kasus tewasnya dr. Aulia.

"Setelah kematian dr. Aulia, Kemenkes langsung bilang itu bunuh diri karena bullying dan harus ada yang tertuduh. Ini yang ditolak oleh dekan sehingga berakibat dekannya juga diberhentikan dari RS Kariadi. Dekan tidak mau melangkah jika tidak ada bukti dan fakta," ungkapnya.

Dari mencuatnya kasus ini, Prof Zainal mendorong adanya perbaikan sistem PPDS di seluruh Indonesia. Bagi dia, akar permasalahan kasus ini adalah jam kerja dokter maupun mahasiswa PPDS FK Undip di RSUP Dr. Kariadi yang berlebihan.

Mereka dituntut bekerja 80 jam dalam seminggu dan mendapatkan gaji dan makan.

"Mereka bekerja untuk pelayanan rumah sakit, hasilnya diterima rumah sakit, tetapi mereka tidak menerima gaji, itu bentuk perbudakan modern atas nama pendidikan dan pelayanan kesehatan," tegasnya.

"Menteri kita gagal mengangkat isu bunuh diri, bullying tidak terbukti, lalu diangkat isu pemalakan," tambahnya.

Prof Zainal menyampaikan bayak mahasiswa PPDS yang bekerja di sana tidak sesuai dengan tugasnya. Mereka banyak menjalankan  tugas seperti perawat yakni mengantar pasien ke ruang operasi, mengambil obat, dan yang paling menyita waktu adalah mengisi rekam medisnya di tiap rungan.

"Ini juga yang  membuat mereka sangat kelelahan dan tertekan," katanya.

Civitas akademik FK Undip membawa poster simbol dukungan kepada dekannya, Yan Wisnu Prajoko, yang ditangguhkan dari RSUP Dr. Kariadi, Senin (2/9/2024). (suara.com/ Sigit AF)

RSUP Dr, Kariadi Buka Suara

Manager Hukum Koordinator Humas RSUP Dr Kariadi Vivi Vira Viridianti meyebut sanksi Kemenkes terhadap PPDS Undip dan Yan Wisnu Prajoko tidak mengganggu pelayanan kesehatan di sana.

"Sanksi Kemenkes tidak menggangu pelayanan kesehatan. Sampai saat ini, kami masih bekerjasama dengan Undip," katanya.

Dia menyampaikan RSUP Dr. Kariadi merupakan rujukan utama pasien di Jawa Tengah dan Kalimantan sehingga pelayanannya sangat padat.

Karenanya, banyak pelayanan yang buka 24 jam, termasuk anestesi. Kendati demikian, semua sudah diatur dalam sistem kerja bergantian.

Menanggapi soal mahasiswa PPDS yang tidak menerima gaji, pihakny mengatakan bahwa mereka adalah peserta didik, bukan pekerja.

"Mereka tidak dipekerjakan, ibaratnya magang proses pendidikaan," tuturnya.

Sementara terkait penangguhan sementara praktik klinis Yan Wisnu, pihaknya menyebut hal itu agar yang bersangkutan lebih fokus dalam menyelesaiakan masalah yang saat ini terjadi.

"Kalau sudah selesai semoga bisa bergabung lagi. Penangguhan ini hasil evaluasi bersama, supaya lebih fokus menghadapi masalah ini," jelas Vivi.

Kontributor : Sigit Aulia Firdaus

Load More