Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 21 November 2024 | 20:06 WIB
pemasangan patok batas kawasan hutan di Desa Rawaapu dan Cimrutu, Kecamatan Patimuan, Cilacap, oleh Perhutani dan Kementerian Kehutanan pada Selasa (19/11/2024). [Istimewa]

SuaraJawaTengah.id - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengkritik skema Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH) yang ditawarkan pemerintah.

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, menyebut mekanisme ini tidak hanya gagal menyelesaikan konflik agraria, tetapi juga memperparah situasi petani yang tengah memperjuangkan hak atas tanah.

“Alih-alih memulihkan hak petani, skema PPTPKH ini malah menjebak mereka dalam konflik agraria berkepanjangan. Tawaran ini hanya mencakup pelepasan pemukiman, fasilitas umum, dan sosial, tetapi lahan pertanian dikesampingkan. Petani dipaksa menerima Perhutanan Sosial yang tidak menjawab tuntutan mereka,” tegas Dewi dalam pernyataan resmi pada Kamis (20/11/2024).

Kritik ini bermula dari pemasangan patok batas kawasan hutan di Desa Rawaapu dan Cimrutu, Kecamatan Patimuan, Cilacap, oleh Perhutani dan Kementerian Kehutanan pada Selasa (19/11).

Baca Juga: Cilacap Masih Dilanda Kekeringan, Distribusi Air Bersih Terus Berlanjut

Patok-patok itu dipasang hanya berjarak 40-50 cm dari pemukiman warga, mengklaim tanah tersebut sebagai bagian dari kawasan hutan yang dikelola kelompok tani hutan (KTH). Kelompok tani ini diketahui baru dibentuk Perhutani dua minggu sebelumnya.

Para petani dari Serikat Tani Mandiri (STaM) Cilacap menolak keras kesepakatan ini karena dinilai tidak mengakomodasi hak atas tanah mereka secara utuh. Mereka menegaskan wilayah tersebut merupakan pemukiman dan tanah pertanian yang telah lama mereka tempati sejak 1967 dan menjadi salah satu Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).

“Wilayah ini bukan hanya tempat tinggal kami, tetapi juga lumbung pangan di Jawa Tengah. Kebijakan ini tidak hanya mengancam lahan kami, tetapi juga kehidupan lebih dari 10 ribu jiwa,” ujar salah satu perwakilan petani STaM.

Tuntutan KPA

Dalam pernyataan sikapnya, KPA menuntut pemerintah untuk:

Baca Juga: Pentingnya Pemetaan Penggunaan LPG 3 Kg untuk Sektor Pertanian di Jateng

  • Membatalkan pemasangan tanda batas kawasan hutan di LPRA yang diusulkan KPA bersama petani.
  • Melepaskan tanah pertanian, perumahan, dan seluruh desa dari kawasan hutan untuk diredistribusikan kepada petani melalui kerangka reforma agraria sejati.
  • Mengevaluasi Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan BPKHTL Wilayah XI Yogyakarta terkait pemasangan tanda batas kawasan hutan.
  • Melaksanakan reforma agraria sejati di atas tanah yang diklaim sebagai kawasan hutan.

Reforma Agraria Belum Tuntas

Menurut KPA, konflik agraria ini telah berlangsung lama. Tanah seluas 5.776 hektare di Cilacap pernah diatur melalui Surat Keputusan (SK) No. 420/KPTS/Um/1981 yang memutuskan pengeluaran tanah tersebut dari kawasan hutan. Namun, hingga kini, konflik belum terselesaikan.

Sebagai induk organisasi dari STaM, KPA menilai langkah pemerintah belum berpihak pada petani. Mereka menyerukan evaluasi kebijakan kehutanan agar petani dapat mengelola tanah secara berdaulat demi keberlanjutan pangan dan kehidupan yang lebih baik.

Penyelesaian konflik agraria yang sejati, menurut KPA, adalah solusi nyata untuk menjawab masalah yang sudah mengakar ini.

Load More