Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 29 November 2024 | 08:35 WIB
Pengamat Politik UIN Walisongo Semarang, Dr M Kholidul Adib. [Istimewa]

SuaraJawaTengah.id - Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Kholidul Adib, menyoroti maraknya praktik politik uang dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang dinilainya tidak mendapat penanganan tegas dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Ia mengkritik lemahnya respons Bawaslu terhadap fenomena ini, yang disebutnya sebagai bentuk pembiaran.

“Yang perlu dipertanyakan itu sebenarnya Bawaslu. Amplop beterbangan, tapi tidak ada berita tentang aksi apa-apa dari mereka,” ungkap Kholidul saat dikonfirmasi di Semarang, Jumat (29/11/2024).

Menurutnya, biaya yang dikeluarkan untuk memenangkan pasangan calon dalam Pilbup atau Pilwalkot mencapai rata-rata Rp100 miliar. Hal ini berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap pembangunan daerah.

Baca Juga: Ini Harapan Apindo Terhadap Calon Bupati dalam Pembangunan Ekonomi Demak

Ia menjelaskan, kepala daerah yang terpilih cenderung akan lebih fokus mengembalikan modal politiknya, yang dapat memicu korupsi di berbagai sektor.

“Semua sektor keuangan daerah akan dicari celah untuk menutup biaya Pilkada. Setidaknya dua tahun pertama, pasangan terpilih akan fokus mengembalikan modal, kemudian di tahun ketiga dan keempat mengumpulkan dana untuk Pilkada berikutnya,” tambahnya.

Adib juga memaparkan berbagai bentuk penyalahgunaan anggaran yang bisa terjadi, seperti pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pengisian jabatan strategis dengan setoran tertentu, hingga manipulasi dana Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Kesulitan Membuktikan Politik Uang di Pengadilan

Ilustrasi politik uang [Bawaslu]

Ia juga mengungkapkan sulitnya membuktikan politik uang di pengadilan. Berdasarkan pengalamannya menghadiri beberapa sidang, termasuk saat Mahfud MD menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, terdapat berbagai kendala dalam pembuktian.

Baca Juga: Bagi-Bagi Duit Puluhan Juta, Kuasa Hukum Ahmad Luthfi-Taj Yasin Laporkan Empat Kades dan Camat

“Ketika saksi yang menerima uang mengatakan bahwa uang tersebut tidak disertai gambar atau nomor pasangan calon, maka sulit membuktikan kaitannya dengan paslon. Apalagi jika saksi mengaku tidak terpengaruh untuk memilih paslon tersebut,” jelasnya.

Kendala lainnya muncul jika pemberi uang tidak terdaftar sebagai bagian dari tim sukses resmi. Hal ini memperumit upaya menghubungkan pemberian uang dengan pasangan calon tertentu.

Usulan Perubahan Sistem

Ilustrasi politik uang. [Ist]

Adib menegaskan bahwa pemberantasan politik uang membutuhkan perubahan sistem, seperti yang pernah diusulkan oleh Mahfud MD. Ia mengusulkan revisi terhadap Pasal 286 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang saat ini mengatur larangan politik uang hanya bagi pasangan calon, tim kampanye resmi, atau pelaksana kampanye.

“Pasal ini harus diubah agar siapa pun yang terlibat dalam politik uang, baik tim resmi maupun tidak resmi, bisa dijerat dengan pidana pemilu,” tegasnya.

Dengan perubahan sistem ini, diharapkan praktik politik uang dapat diminimalisasi sehingga Pilkada dapat berjalan lebih bersih dan berintegritas.

Load More