Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Senin, 30 Desember 2024 | 07:31 WIB
Pedagang Kampung Seni Borobudur (KSB). [Suara.com/Angga Haksoro]

SuaraJawaTengah.id - Ujung penataan sekitar 2 ribu pedagang di kawasan Taman Wisata Candi adalah relokasi. Masa depan mereka di Kampung Seni Borobudur belum terang benar.   

Kami menemui Sarinah duduk melamun di depan kiosnya di salah satu blok di Kampung Seni Borobudur (KSB). Matanya sesekali melirik kecut ke arah area parkir yang penuh kendaraan.

“Ini mobil banyak sampai pedes lihatnya. Pengunjung banyak, tapi nggak ada yang mampir. Tamu kalau sudah masuk sana (sisi blok timur KSB) sudah nggak mau kesini,” kata Sarinah.

Sarinah bukan nama sebenarnya. Dia minta namanya disamarkan. Sebab kasak-kusuk soal kondisi para pedagang di Kampung Seni Borobudur, mungkin bisa jadi mengundang masalah. 

Baca Juga: Kabinet Merah Putih Bakal Kumpul di Akmil Magelang, Polda Jateng Pastikan Tak Ada Penutupan Arus Lalu Lintas

Sejak September lalu, Sarinah menempati petakan lapak berdagang seluas 1,5 meter persegi. Sebelumnya dia berjualan di pasar kaki lima yang masuk dalam zona II Borobudur.

Setelah Candi Borobudur ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), lokasi pasar dan parkiran dirombak total. Zona II yang disiapkan untuk kawasan hijau dan cultural park, harus steril dari segala kegiatan komersil.

PT TWC sebagai pengelola destinasi wisata warisan dunia, Candi Borobudur, membangun kawasan relokasi pedagang dan parkir di Kampung Seni Borobudur, Kujon.

Di atas lahan seluas 10,74 hektare, kompleks KSB mengintegrasikan fungsi kantong parkir dan pasar seni dalam satu zona sekaligus. Pembangunan dimulai akhir 2023 dengan PT Brantas Abipraya (Persero) sebagai pelaksana proyek.

Dikutip dari laman InJourney Destination Management, perusahaan holding pengelolaan destinasi wisata yang membawahi PT TWC, mengklaim bahwa Kampung Seni Borobudur akan memberikan dampak sosial yang positif bagi warga sekitar.

Baca Juga: Menyambut Pulang Taksu Candi Lumbung, Pulihkan Fungsi Spiritual Benda Cagar Budaya

Menurut Direktur Utama PT TWC, Febrina Intan, Kampung Seni Borobudur menghadirkan area menarik seperti galeri seni, amphitheater, museum, serta pusat produk UMKM.

Dia mengakui, pengelolaan Kampung Seni masih dalam tahap penyempurnaan. Tidak semua aspek otomatis berjalan, karena perpindahan dari pasar sebelumnya ke lokasi baru membutuhkan penyesuaian kebiasaan.  

Dari sudut pandang para pedagang, penyempurnaan yang harus segera dilakukan adalah rekayasa jalur wisatawan dari area parkir ke titik penjemputan menuju Candi Borobudur.   

Saat ini PT TWC memindahkan loket masuk Candi Borobudur ke timur lokasi Kampung Seni. Dari loket, wisatawan bisa berjalan kaki atau diantar kendaraan listrik Wara-Wiri menuju pintu masuk utama.     

Lapak Kosong

Pedagang Kampung Seni Borobudur (KSB). [Suara.com/Angga Haksoro]

Jika ditarik garis imajiner, kompleks Kampung Seni Borobudur terbagi sisi barat dan timur dengan amphitheater atau gelanggang terbuka tempat pertunjukan seni sebagai porosnya.

Jalur paling dekat bagi wisatawan dari area parkir menunju loket tiket adalah melewati selasar timur atau menyebrang bangunan kompleks di sisi utara Kampung Seni.

Akibatnya pedagang seperti Sarinah yang kebagian jatah lapak di pojok belakang sisi barat, jarang sekali dilewati pengunjung.

“Pedagang di blok yang menghadap utara itu nggak lihat kendaraan parkir, tapi malah dapat uang. Kita lihat tamu banyak tapi nggak ada yang mampir.”

Sekitar satu jam nongkrong di depan lapak Sarinah, hanya kami yang terlihat jajan di blok ini. “Lihat sendiri, nggak ada yang duduk sama sekali. Paling dapat uang Rp10 ribu. Buat beli bensin saja nggak dapat 1 liter,” ujar Sarinah.  

Para pedagang di blok ini mengandalkan pemasukan dari teman yang kebetulan mampir untuk sekadar ngelarisi jualan. “Cuma kayak gini kita dapat. Kalau ada teman gini, mas-nya duduk sini sambil ngasih rejeki,” kata Aeng yang ikut nimbrung mengobrol.

Demi alasan keamanan, Aeng juga minta namanya disamarkan. Siang itu dia mengaku belum mendapat satupun pembeli. “Paling banter saya cuma bisa jual tiga gelas kopi.”

Aeng dan Sarinah sesama mantan pedagangan pasar kaki lima yang dulu berjualan di zona II Borobudur. Bagai bumi dan langit, mereka membandingkan pendapatan berjualan di lokasi lama dengan di Pasar Seni Borobudur.

Apalagi sekarang saatnya masa libur Natal dan Tahun Baru yang biasanya menjadi musim panen bagi para pedagang Borobudur. 

“Jangan dibilang (perbedaannya). Di sana (pasar lama) jualan masih bebas. Akhir bulan (saat musim liburan) kalau uang kita nggak kepake buat apa-apa, Rp10 juta bersih,” ujar Sarinah.

Di pasar yang lama, Sarinah berjualan soto, gudeng, nasi goreng dan macam-macam minuman. Dia menyewa kios ukuran sekira 6 meter persegi yang cukup untuk menata meja dan kursi makan.  

Di Kampung Seni Borobudur, Sarinah berjualan menempati lapak atas nama ibunya. “Saya mewakili mak’e saya. Mak’e saya sudah sepuh, kalau kesini lihat jualan sepi kayak gini makin...,” kata Sarinah seraya memijat dahi.

Tidak semua mantan pedagang di zona II Borobudur bisa menempati lapak jualan di Pasar Seni. Ada sekitar 324 pedagang yang tergabung dalam paguyuban Sentra Kerajinan dan Makanan Borobudur (SKMB) belum mendapat kepastian tempat.   

Sebelum direlokasi, tercatat ada 7 paguyuban yang mewadahi pedagang Borobudur. Paguyuban terbagi berdasarkan jenis barang yang dijajakan atau lokasi tempat mereka berjualan.

SKMB termasuk paguyuban yang paling tua berdiri, juga dengan jumlah anggota terbanyak. Sebelum tercerai berai akibat relokasi, dari total 1.943 pedagang Borobudur, 767 diantaranya anggota SKMB.

Jalur Acak Wisatawan

Paguyuban Sentra Kerajinan dan Makanan Borobudur termasuk yang paling kencang teriak menolak relokasi. Mereka menganggap sejak awal para pedagang tidak dilibatkan dalam rencana pemindahan tersebut.

“Pedagang dipindahkan, kita tidak dilibatkan. Master plan dulu mau seperti apa. Berarti kita kan sudah tidak dianggap. Tidak di-wongke. Tidak dimanusiakan,” kata Ketua SKMB, Yulianto.

Menurut Yulianto seharusnya rencana relokasi ke Kampung Seni juga membahas dampak buruknya bagi pedagang. Memindahkan pasar ke tempat baru, harus memperhatikan karakter wisatawan sebagai target pasar.

“Ini kan buntu. Kami dipaksa pindah ke KSB sementara di sana tidak memberi harapan ekonomi yang lebih baik. Baru beberapa bulan, sekarang sudah banyak yang tidak kuat jualan.”

Berkeliling terutama di selasar blok sisi barat Pasar Kampung Seni Borobudur, kami mendapati banyak lapak dibiarkan kosong. Beberapa penjual lesu menawarkan dagangan. Sebagian lagi duduk melenguk entah memikirkan apa.    

Sejak dulu, tujuan wisatawan datang ke Candi Borobudur bukan untuk berbelanja. Setelah capek jalan berkeliling pelataran atau mendaki candi, wisatawan biasanya ingin bergegas pulang menuju parkiran.

Di pasar kaki lima dulu, pedagang mengatur jalur keluar wisatawan harus melewati lapak-lapak jualan sebelum sampai di parkiran. Dari semula tidak minat belanja, boleh jadi malah membeli sepotong, dua potong celana kolor atau kain pantai.

Di Kampung Seni Borobudur, wisatawan bebas memilih rute secara acak. Paling banyak tentu memilih jalur paling singkat menuju atau keluar pintu loket.  

Akibatnya, jumlah pengunjung yang melintasi masing-masing lapak pedagang menjadi tidak sama. Kemungkinan jualan laku di blok yang paling jarang dilewati tamu, semakin kecil.

Kata Yulianto, banyak pedagang pemilik lapak di KSB memilih kembali mengasong berpindah-pindah ke beberapa balkondes. Ada yang bahkan berjualan hingga ke tempat wisata ziarah Watucongol dan Gunungpring di Muntilan.       

“Terpaksa ngasong kalau tidak ada tempatnya gimana? Mengasong di balkondes harus punya kartu tanda anggota. Kalau nggak punya KTA atau bukan orang situ, ya nggak bisa jualan.”

Kampung Seni untuk Siapa?

LBH Yogyakarta yang sejak 3 Juli 2024 secara resmi mendamping paguyuban SKMB, menyebut konsep pembangunan Kampung Seni Borobudur tidak dibuat untuk pedagang kecil.

Penataan ruang dan skema bisnis yang dirancang di KSB, lebih cocok untuk pelaku usaha besar dengan modal yang lebih stabil.  

“Bangunan megah seperti itu dibutuhkan (kemampuan) para pelaku usaha yang punya stabilitas dalam mengelola modal. Bisnis besar punya beberapa cabang, sehingga perputaran modal nggak cuma di situ,” kata Royan Juliazka, pendamping LBH Jakarta.

Kekuatan bisnis pengusaha besar tentu berbeda dengan para mantan pedagang kaki lima Borobudur yang modalnya cupet. Beberapa bulan saja uang tidak berputar, dipastikan modal habis digerogoti kebutuhan makan.

Menggunakan contoh kasus penggusuran warga Kulonprogo saat pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta, LBH mencurigai relokasi ke Kampung Seni sebagai cara pelan-pelan untuk menyingkirkan pedagang.     

“Di Bandara Kulonprogo ketika warga digusur, dijanjikan mendapat lapak jualan di dalam bandara. Tapi cuma (bertahan) 2-3 bulan akhirnya keluar karena nggak laku.”

Ketika warga meninggalkan lapaknya di bandara, pengusaha bermodal besar seperti Bakpia Tugu, Hamzah Batik dan perusahaan kuliner besar lainnya masuk untuk menggantikan.   

Pengelola bandara kemudian dengan mudahnya berdalih bahwa mereka telah menyediakan tempat usaha untuk warga, tapi tidak dimanfaatkan.

“Prediksi kami, mereka di dalam (pedagang di Kampung Seni Borobudur) yang nggak tahan akan pergi dengan sendirinya. Nanti alasannya sama: ‘Kami sudah menyediakan lapak, tapi mereka pergi’. Padahal dalam sistem ekonomi nggak seperti itu caranya. Harus ada rekayasa (yang mendukung para pedagang kecil),” ujar Royan.

SKMB Berjuang

Pedagang Kampung Seni Borobudur (KSB). [Suara.com/Angga Haksoro]

Demi mewujudkan ekosistem perekonomian yang mendukung para pedagang kecil, Sentra Kerajinan dan Makanan Borobudur (SKMB) memperjuangkan hak mereka mendapat lapak berdagang di Kampung Seni.

Para pedagang SKMB mengklaim berhak atas lapak di Kampung Seni, berdasarkan hasil validasi pedagang yang dilakukan pada 27 Juli 2023 di Balai Desa Borobudur.

Saat itu tercatat 1.943 pedagang di zona II Borobudur. Data itu yang menurut SKMB menjadi dasar membangun jumlah lapak berdagang di Kampung Seni Borobudur.

Kenyataanya, saat Kampung Seni resmi beroperasi malah para pedagang SKMB tidak mendapatkan tempat. Beberapa kali mereka protes dan melakukan pertemuan dengan PT Taman Wisata Candi, namun hasilnya nihil.

Belakangan atas arahan Ombudsman RI, PT Taman Wisata menyelesaikan proses pemadanan data pedagang SKMB di Pintu 1 Borobudur.  

“Proses ini dilakukan secara akuntabel, transparan, melibatkan Forkopimda Kabupaten Magelang, perwakilan pedagang, dan panitia yang ditunjuk,” kata Corporate Secretary Group Head PT TWC, Ryan Sakti melalui keterangan tertulis tertanggal 10 Desember 2024.  

Hasil pemadanan data justru memunculkan masalah karena hanya memberi hak menempati lapak di Kampung Seni Borobudur kepada 89 anggota SKMB.

Alasan yang digunakan untuk menolak sebagian besar anggota SKMB masuk ke Kampung Seni dianggap tidak masuk akal. Salah satu anggota Pak Tarmin misalnya, ditolak karena lapak di pasar sebelumnya terdata atas nama istrinya tapi sudah meninggal.

Paguyuban merasa berhak mendapat lapak di Kampung Seni karena mereka mengantongi surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dan memegang kartu izin berdagang di kawasan Candi Borobudur.

“Pertanyaanya kenapa tidak pakai data yang dulu (verfikasi awal), yang 1.943 pedagang itu? Kenapa harus verifikasi lagi. Apa karena SKMB kritis? Itu kan hak yang nggak boleh dilanggar,” ujar Royan Juliazka, pendamping LBH Jakarta.

Benteng Terakhir Gerakan Sosial Borobudur

Tanggal 29 Desember kemarin, PT Taman Wisata Candi mengundang 89 anggota SKMB untuk menerima hak menempati lapak di Kampung Seni Borobudur. Tawaran itu ditolak mentah-mentah.  

“Pemadanan data tidak sesuai yang diharapkan. Bukan semua warga kami yang dipadankan, malah jumlahnya berkurang terus. Komitmen kami masuk satu, masuk semua,” kata Ketua SKMB, Yulianto.

Setelah nantinya SKMB berhasil masuk menempati lapak di Kampung Seni Borobudur, baru mereka bisa mengintervensi rekayasa jalur pengunjung.

Beberapa rekayasa jalur lintasan pengunjung wisata Candi Borobudur, dulu pernah dilakukan di lokasi pasar yang lama. Sehingga ditemukan jalur perlintasan yang adil dan menguntungkan bagi seluruh pedagang.   

Menurut pendamping LBH Yogyakarta, Royan Juliazka, intervensi jalur lintasan pengunjung sebagai salah satu bentuk mendukung keberangsungan usaha kecil di kawasan Borobudur.

Sehingga warga lokal Borobudur tidak menjadi tamu di rumah sendiri yang hanya boleh puas menonton kemajuan ekonomi daerah mereka.

“Benteng pertahanan terakhir di Borobudur dalam konteks gerakan sosial tinggal teman-teman SKMB. Jika sudah tidak ada mereka, Borobudur habis. Tidak akan ada lagi suara kritis.”

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More